__________________________________________________________________________________

| Nawawi | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Galeri Buku | Galeri MP3 | U-VideOo |
__________________________________________________________________________________

Friday, December 14, 2007

024 - QADHA’ & QADAR SUATU PERBAHASAN

QADHA’ & QADAR SUATU PERBAHASAN

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

I. DEFINISI QADHA’ DAN QADAR

Qadha’ menurut bahasa memiliki beberapa makna yang berbeza menurut struktur kalimatnya, di antaranya bererti:

a. Hukum, حكم ertinya قضى يقضى قضاء menghukumi, memutuskan.

b. Perintah, seperti firman allah;

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya. (al-Isra’ 17: 23)

c. Khabar, seperti firman Allah;

“Dan telah kami khabarkan (wahyukan) kepadanya (Nabi Luth) perkara itu, iaitu bahawa mereka akan ditumpaskan habis di waktu Subuh.” (al-Hijr 15: 66)

Sedangkan yang dimaksudkan di sini ialah erti yang pertama. Adapun Qadar, maka ia adalah takdir, iaitu menentukan atau membatasi ukuran segala sesuatu sebelum terjadinya dan menulisnya di Lauhul Mahfuz. Allah berfirman;

“.. dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya...” (Fushshilat 41: 10)

Keterangan Definisi

Qadha’ adalah hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini, dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi hukum-Nya dan sunnah-sunnah yang Dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya, semenjak Dia menghendakinya sampai selama-lamanya, maka setiap apa yang terjadi di alam ini adalah berdasarkan takdir yang mendahuluinya. Ini sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah dan yang telah Dia atur. Maka apa yang terjadi bererti dia itu telah ditakdirkan dan ditentukan qadha’nya oleh-Nya, dan apa yang belum terjadi bererti dia itu belum ditakdirkan dan belum ditentukan qadha’nya. Apa yang ditakdirkan bukan bahagianmu, tidak akan mengenaimu dan apa yang ditakdirkan mengenai kamu, tidak akan meleset darimu.

II. BERIMAN KEPADA QADHA’ ALLAH DAN QADARNYA

Beriman kepada qadha’ dan qadar Allah adalah rukun ke enam dari rukun iman. Sebagaimana tersebut dalam jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril a.s. tentang iman, beliau bersabda,

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Hari Akhir, dan engkau beriman kepada qadar-Nya, yang baik maupun yang buruk.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 1/19-20, dan Muslim 1/37)

Makna beriman kepada qadar ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahawa yang terjadi (samaada baik atau buruk) itu adalah atas qadha’ dan qadar Allah.

Seperti firman Allah,

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (al-Hadid 57: 22-23)

Ayat-ayat tersebut membuktikan bahawa segala yang terjadi pada alam semesta dan pada jiwa manusia, yang baik mahupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan ditulis sebelum diciptakannya makhluk. Maka apa yang tidak didapatkan dari sesuatu yang disukai tidak mengharuskan rasa susah, dan apa yang didapatkan dari kebaikan tidak mengharuskan rasa suka.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Seandainya Allah menyiksa penduduk langit dan penduduk bumi, tentu Dia menyiksa mereka tanpa berbuat zalim kepada mereka. Jika Ia merahmati mereka maka rahmat-Nya adalah lebih baik bagi mereka daripada amal mereka. Seandainya engkau memiliki emas segunung Uhud atau seperti gunung Uhud yang engkau belanjakan di jalai Allah, maka Ia tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada takdir dan engkau mengetahui bahawa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bahagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika engkau mati atas (akidah) selain ini maka engkau masuk neraka.” (Hadis Riwayat Ahmad, 5/185, Ibnu Majah dan Abu Daud)

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda,

“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, tetapi pada diri masing-masing terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu, dengan memohon pertolongan kepada Allah, dan jangan malas. Apabila engkau tertimpa sesuatu maka janganlah engkau mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat begini tentu hasilnya begini dan begini,’ akan tetapi ucapkanlah, ‘Allah telah mentaqdirkan dan apa yang Ia kehendaki Ia laksanakan.’ Karena sesungguhnya ‘andaikata’ (pengandaian) itu akan membuka perbuatan syaitan.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2052)

Semua yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui oleh-Nya. Allah tidak pernah menciptakan keburukan yang murni, yang tidak melahirkan suatu kemaslahatan. Maka keburukan dan yang tidak disukai tidak dinisbatkan kepada-Nya dari sudut pandang sebagai keburukan yang mumi, akan tetapi ia masuk dalam rentetan makhluk-Nya.

Segala sesuatu apabila dinisbatkan kepada Allah adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak termasuk ke dalam sifat Allah dan tidak juga ke dalam perbuatan-Nya. Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditunjukkan firman-Nya,

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisa’ 4: 79)

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah kerana dosa dan kemaksiatannya. Tidak seorang pun boleh lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah pencipta manusia. Tidak ada yang terjadi di dalam kerajaan-Nya ini melainkan apa yang Dia kehendaki, dan Allah tidak meredhai kekufuran untuk hamba-Nya. Dia telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah tenjadi atas kemampuannya dan kemahuannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki karena hikmah-Nya. Tidak ditanya apa yang Dia lakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang amal perbuatan mereka.

III. TINGKATAN BERIMAN KEPADA TAKDIR

Iman kepada takdir memiliki empat tingkat:

Tingkat pertama:

Iman kepada ilmu Allah yang merupakan sifat Allah sejak azali. Dia Mengetahui segala sesuatu. Dia menguasai segala sesuatu, tidak ada makhluk sekecil apapun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum Dia menciptakannya. Ia mengetahui keadaan mereka dan hal ehwal mereka di masa yang akan datang, semuanya, yang rahsia dan yang terang-terangan.

Adapun dalil-dalilnya cukup banyak, antara lain:

a. Firman Allah,

...dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq 65: 12)

b. Firman Allah,


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan yang hak selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib dan nyata.” (Al-Hasyr: 22)

* Firman Allah s.w.t عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ berulang-ulang disebut di dalam al-Qur’an, di dalam surat al-Baqarah, al-An’am, ar-Raa’d, al-Mu’minun, ar-Rum, as-Sadjah, al-Jumuah dan at-Taghabun.

“Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (Saba’: 3)

d. Firman Allah,

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfizh).” (Al-An’am 6: 59)

e. Hadis imam Muslim dan lainnya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata bahawa Rasulullah s.a.w., ditanya tentang anak-anak orang musyrik, beliau menjawab,

“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika Ia menciptakan mereka.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2049, dan lihat al-Bukhari, bab al-Qadar 8/153)

Dalil-dalil di atas menunjukkan ilmu Allah, penguasaan-Nya terhadap segala sesuatu, yang hadir atau yang ghaib, yang telah lalu dan yang akan datang dan apa-apa yang tidak ada bagaimana seandainya ada; semuanya itu sangatlah jelas bagi-Nya.

Tingkatan kedua:

Mengimani bahawasanya Allah menulis dan mencatat takdir makhluk-Nya di Lauhul Mahfuzh. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan. Hal ini dibuktikan oleh dalil-dalil yang antaranya:

a. Firman Allah,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di burni dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid 57: 22)

b. Firman Allah,

“Apakah kamu tidak rnengetahui bahawa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalarn sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu arnat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj 22: 70)

c. Firman Allah,

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti karnu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalarn al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-Anam: 38)

d. Sabda Rasulullah s.a.w, riwayat Imam Ahmad dan lainnya, dari Ubadah bin Shamit,

“Makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah al-qalam (pena), kemudian Dia berkata kepadanya, ‘Tulislah.’ Pena itu berkata, ‘Apa yang hamba tulis?’ Dia berkata, ‘Maka dia pun menulis apa yang ada dan apa yang bakal ada sampai hari Kiamat.’ (Hadis Riwayat Ahmad 5/37, lihat Kitab Syari’ah karya al-Ajurri, hal. 77, 178, 186, 187)

e. Sabda Rasulullah s.a.w., riwayat Imam al-Bukhari dengan sanad dari ali r.a.,

“Tidak seorang pun di antara kalian melainkan sudah ditulis Allah tempat duduknya dari neraka atau dari syurga. Maka berkatalah seorang sahabat, ‘Mengapa kita tidak bertawakkal (bergantung pada takdir) saja Ya Rasulullah?’ Baliau menjawab, ‘Tidak, beramallah kalian, kerana masing-masing telah dimudahkan.’ Kemudian beliau membaca ayat, ‘Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10. Hadis Riwayat al-Bukhari 8/154, lihat Muslim 4/ 2040)

Dalil-dalil di atas menyatakan bahawa Allah telah mencatat segala sesuatu sebelum menciptakannya dan tidak melupakannya sedikit pun. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah yang tidak tersembunyi bagiNya suatu apa pun.

Tingkat ketiga:

Iman kepada masyi’ah (kehendak) Allah dan kekuasan-Nya yang menyeluruh. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi atas kekuasaan-Nya, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi; bukan karena tidak mampu, melainkan kerana Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit mahu pun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Fathir: 44)

Dalil-dalil tentang masyi’ah Allah yang menyeluruh banyak di antaranya adalah:

Firman Allah,

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At-Takwir: 29)

b. Firman Allah,

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (A1-An’am: 39)

c. Firman Allah,

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)...” (An-Nahi: 39)

d. Firman Allah,

“Sesungguhnya perintah Allah apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)

e. Hadis Rasulullah s.a.w., dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a.,

“Siapa yang dikehendaki Allah untuk menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya fakih (mengerti) dalam agama ini.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 1/27, Muslim 111/1524)

Dalil-dalil di atas tentang umumnya masyi ‘ah Allah sangat sekali, lah jelas. Maka apa saja yang terjadi di alam raya ini semuanya dikehendaki Allah dengan iradah kauniyah-Nya (kehendak universal), kerana Dia adalah satu-satunya al-Khaliq dan al-Malik yang mengatur. Tidak ada kejadian atau peristiwa dalam kerajaan-Nya ini yang terlepas dan keluar dari kemahuan-Nya. Tidak ada yang mampu menolak qadha’Nya, dan tidak ada yang memprotes hukum-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya.

Tingkat keempat:

Mengimani bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya, dan tidak ada Rabb selainNya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

a. Firman Allah,

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62)

b. Firman Allah,

dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya . (Al-Furqan: 2)

c. Firman Allah,

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 2)
d. Firman Allah,

“Allah pencipta langit dan bumi “(Al-Anam: 101)

e. Firman Allah,

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96)

f. Hadits Rasulullah s.a.w.,

“Sesungguhnya Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (Hadis Riwayat al-Hakim 1/31-32, dan Majma’ az-Zawa’id 7/ 197)

Dalam ayat-ayat dan hadis tersebut di atas terdapat pernyataan yang jelas bahwa Allah s.w.t., Dialah yang mentakdirkan segala sesuatu dan yang menciptakannya. Dialah yang meliputi segala sesuatu dengan perhatian dan pengaturan-Nya. Allah telah mentakdirkan dan menciptakan segala yang ada tanpa ada contoh sebelumnya. Dia menganugerahi sebagian makhluk-Nya kemampuan dan perbuatan. Allah adalah Pencipta orang yang berbuat serta perbuatannya. Dialah al-Khallaq al-Alim (Maha Pencipta dan Maha Mengetahui).

IV. JENIS-JENIS/SKOP TAKDIR

Takdir ada empat macam, semuanya termasuk kandungan dan tulisan takdir umum dan semuanya kembali kepada ilmu Allah yang mutlak serta mencakup segala sesuatu.

Takdir Pertama:

Adalah takdir umum (taqdir azali), meliputi segala hal dalam lima puluh ribu tahun sebelum terciptanya langit dan bumi, ketika Allah menciptakan al-qalam dan memerintahkannya menulis segala apa yang ada sampai Hari Kiamat. Ini adalah taqdir azali. Dalil takdir ini firman Allah,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Al-Hadid: 22)

Dan sabda Rasululah s.a.w.,

“Allah telah menulis takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan Arsy-Nya berada di atas air’.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2044)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Takdir Kedua:

Taqdir ‘Umuri, iaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya, ketika pembentukan air sperma (blatokist) sampai pada masa sesudah itu, dan bersifat umum; mencakup rezeki, perbuatan, kebahagiaan dan kesengsaraan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah s.a.w.,

“Sesungguhnya salah seorang dari kamu dikumpulkan di perut ibunya selama 40 (empat puluh) hari, kemudian terbentuk ‘alaqoh (morula/segumpal darah) seperti itu (lamanya), kemudian menjadi mudhghah (embrio/segumpal daging) seperti itu (lamanya). Kemudian Allah mengutus seorang malaikat diperintah (menulis) empat perkara: rezekinya, ajalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kamu atau seorang laki-laki akan beramal seperti amalnya ahli neraka sampai tidak ada jarak antara dia dan neraka melainkan satu depa atau satu hasta, ternyata catatan takdir telah mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalnya ahli syurga maka ia pun memasukinya. Dan sesungguhnya seorang laki-laki akan beramal seperti amalnya ahli syurga sampai tidak ada jarak antara dia dengan syurga melainkan satu hasta atau dua hasta, ternyata tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga ia mengamalkan amalnya ahli neraka, maka ia pun memasukinya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 8/152, dan Muslim 4/ 36)

Takdir ini lebih khusus dan yang ada di Lauhul Mahfuzh.

Takdir Ketiga:

Taqdir Sanawi (tahunan), iaitu yang dicatat pada malam lailatul qadar setiap tahun, seperti firman Allah:

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (iaitu) urusan yang besar dari sisi Kami, Sesungguhya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul.” (Ad-Dukhan: 4-5)

Para mufassir menyebutkan, pada malam itu ditulislah semua apa yang bakal terjadi dalam satu tahun: mulai dan kebaikan, keburukan, rezeki, ajal dan lain-lain, untuk memilah kejadian dan peristiwa dalam satu tahun, yang kesemuanya itu telah dicatat sebelumnya dalam Lauhul Mahfuzh, juga apa yang ditetapkan dalam takdir ‘umuri yang berkaitan khusus dengan individu. Dan Allah Maha Menjaga segala sesuatu.

Takdir Keempat:

Taqdir yaumi (harian), iaitu dikhususkan untuk semua peristiwa yang telah ditakdirkan dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rezeki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan dan sebagainya.

Sebagaimana firman Allah,

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ar-Rahman: 29)

Maksudnya, apa yang menjadi urusan-Nya menyangkut makhluk-Nya. Takdir ini dan kedua takdir sebelumnya (‘umuri dan sanawi) merupakan penjabaran/pecahan dari taqdir azali.

V. LARANGAN MEMPERBINCANGKAN SECARA MENDALAM MASALAH TAKDIR

Beriman kepada takdir, yang baik mahupun yang buruk, adalah salah satu rukun iman. Takdir adalah satu mata rantai dari untaian tauhid. Dan beriman kepada sebab-sebab yang menghantarkan kepada takdir yang baik mahupun yang buruk adalah aturan syariat. Tidak akan lurus dan benar urusan dunia dan agama ini tanpa adanya iman kepada tauhid dari syariat. Rasulullah telah menegaskan makna ini kepada seseorang yang berkata,

“Tidak cukupkah kita menyerahkan diri kepada catatan takdir saja, dan kita tidak perlu beramal?” Maka beliau bersabda, “Beramallah, kerana masing-masing akan dimudahkan. Adapun orang-orang yang ditulis berbahagia, maka mereka akan dimudahkan melakukan amalan-amalan orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-orang yang ditulis celaka, maka mereka akan dimudahkan melakukan amalan-amalan orang-orang yang celaka.” Kemudian beliau membaca ayat, “Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (Al-Lail: 5-10. Hadis Riwayat Muslim 4/2039-2040. Lihat al-Bukhari 8/154)

Ini adalah pernyataan baginda Rasulullah s.a.w., suatu perintah untuk beramal dan larangan untuk pasrah kepada nasib yang digariskan. Amal-amal yang dihasilkan manusia menunjukkan bahawa hal itu telah dikehendaki dan ditakdirkan Allah sebelumnya. Yang menciptakan sebab dan akibat adalah Allah, Pencipta segala sesuatu. Mahasuci Allah, Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan.

Takdir adalah rahsia Allah mengenai makhluk-Nya, tidak ada yang mengetahuinya; tidak malaikat yang paling dekat dan tidak pula nabi yang diutus.

Banyak nash-nash syariat yang membahas masalah takdir. Sebahagiannya telah disebutkan di awal perbincangan terdahulu. Di antaranya, ada (dalil) yang menafikan kezaliman Allah seperti firman Allah,

“Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Az-Zukhruf: 76).

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri.” (Yunus: 44)

Di antaranya lagi menetapkan adanya kekuatan dan kehendak bagi manusia serta menyandarkan perbuatan manusia kepada mereka sendiri. Hal ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya berdasarkan madzhab salaf (generasi awal Islam) dalam qadha’ dan qadar. Dan dari keterangan-keterangan di atas mukhathab (yang diajak bicara) yang pelbagai tingkatannya, akan dapat memahami sesuatu dari takdir sesuai dengan kemampuan masing-masing yang kesemuanya itu mengajak dan menuntun untuk mengimani sesuatu yang disembunyikan Allah dari mereka, iaitu ilmu ghaib yang diimani oleh orang-orang yang bertakwa yang menyerahkan kepada ilmu Allah Yang Mahaluas dan kekuasaan serta penciptaan-Nya atas segala sesuatu. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi.

Rasulullah s.a.w., yang bijak dan sangat memperhatikan umatnya memperingatkan mereka dari masalah qadha’ dan qadar yang menyebabkan ketergelinciran yang membahayakan. Maka beliau melarang umatnya agar tidak memperbincangkan dan membahas terlalu dalam tentang qadha’ dan qadar. Kerana hal itu akan mendorong untuk membanding-bandingkannya dengan hal-hal yang bboleh dikesan melalui pancaindera, yang di antaranya mengakibatkan terbentuknya fikrah maddiyah (pemikinan materialisme) yang berada di depan mata kita. Ini adalah jalan yang berbahaya, berupaya menjerumuskan manusia kepada perlawanan terhadap Allah Yang Maha Mengatur segala milik-Nya, dan akan menjerumuskan dia ke dalam jurang kebingungan dan kesesatan.

Manusia tidak akan sampai kepada sesuatu yang boleh membuat hatinya tenang kecuali jika ia mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya dan meninggalkan perbahasan yang mendalam tentang qadha’ dan qadar, dan menjadikan perintah-perintah syariat sebagai petunjuk yang menuntunnya untuk menyerahkan diri kepada Allah, serta redha terhadap sesuatu yang tidak difahaminya. Di dalam al-Quran terdapat peringatan yang serupa dengan masalah in iaitu tentang hakikat ruh. Allah berfirman,

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Maksudnya, engkau tidak diberi ilmu melainkan sedikit sekali, yang dengan ilmu itu tidak memungkinkan engkau mengetahui hakikat ruh yang sebenarya, tetapi engkau mungkin mengetahui pengaruh-pengaruhnya atau fungsinya ketika dia masih berada pada jasad.

VI. MADZHAB SALAF DALAM QADHA’ DAN QADAR

Para salaf umat ini tidak ada yang berselisih tentang kebenaran qadha’ dan qadar Allah. Mereka semua mengatakan,

“Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Tuhannya dan Pemiliknya (akan sesuatu itu). Tidak ada suatu apapun yang keluar dari itu. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi. Tidak ada di alam semesta ini sesuatu yang terjadi melainkan dengan kehendak (masyi’ah) dan kekuasaan (qudrah)Nya. Tidak sesuatu pun yang menghalangi-Nya apabila Ia menginginkan sesuatu. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu yang telah berlalu, yang akan terjadi dan tidak ada bagaimana seandainya dia ada. Dia telah menulis segala yang ada sebelum terciptanya;

Perbuatan para hamba, rezeki, ajal dan bahagia atau celaka dan lain sebagainya.

Seperti dalam firman Allah,

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Al-An’am: 17)

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami’.” (At-Taubah: 51)

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dan apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-Qashash: 68)

Ayat-ayat ini dan yang seumpamanya menunjukkan bahawa setiap apa yang terjadi dalam alam semesta ini adalah telah ditakdirkan oleh Allah dan telah ditulis di sisi-Nya. Hal ini merupakan contoh dari sifat rububiyah-Nya yang mutlak. Mahasuci Allah, Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka lakukan. Dia Mahabijakana dan Maha Mengetahui. Dia mengatur segalanya dengan ilmu dan hikmah-Nya. Dia menjadikan dari pekerjaan-pekerjaan yang terjadi sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan oleh siapa pun selain Dia seperti hidup atau mati serta sifat-sifat makhluk tentang bentuk atau panjang pendek dan lainnya, juga bencana atau musibah yang menimpanya.

Sebagaimana firman-Nya,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di burni dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelurn Kami rnenciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

Adapun segala perbuatan, sifat, dan kejadian yang berada di luar keinginan dan ikhtiar manusia, maka hal itu bukan medan taklif dari Allah dan tidak dinisbatkan kepada manusia. Tetapi ada perbuatan-perbuatan yang mampu dilakukan manusia dan berada dalam kemampuan manusia, yang kalau ia kerjakan berdasarkan kekuatan dan ikhtiar yang sudah dianugerahkan Allah kepadanya, maka nampaklah hikmah Allah dalam hal pembalasan. Seperti firman Allah,

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara karnu yang lebih baik arnalnya.” (Al-Mulk: 2, dan Hud: 7)

Setiap orang pasti merasa bahwa ia mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu atau meninggalkannya. Jadi perbuatan itu benar-benar perbuatannya sendiri sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Allah berfirman,

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (AI-Kahfi: 29)

“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur: 21)

“(Iaitu) bagi siapa di antara kamu yang mahu menempuh jalan yang lurus.” (At-Takwir: 28)

Oleh kerana manusia boleh memilih dalam perbuatannya, baik itu iman dan istiqamah atau pun kebaikannya, dengan itu diadakanlah pertanyaan, hisab, pahala dan seksa. Tetapi hal ini tidak bererti perbuatan manusia keluar dari kekuasaan Allah, kerana ia tidak mampu berbuat kecuali dengan apa yang Allah telah tetapkan atasnya. Ia tidak berkehendak dan melakukan kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dikerakannya; sebagaimana disebutkan dalam dalil-dalil terdahulu.

Maka Allah adalah al-Khaliq, pencipta segala sesuatu, Pencipta manusia beserta amalnya. Allah telah mengaitkan antara sebab dengan akibatnya. Manusia mempunyai kekuatan dan kemahuan, tetapi ia mengikuti kekuasaan Allah dan kehendak-Nya. Menyandarkan perbuatan kepada Allah adalah hakikat (bukan majaz), sebagaimana menyandarkannya kepada makhluk adalah hakikat pula.

Perbuatan-perbuatan Allah adalah baik semuanya. Perbuatan Allah tidak mengandungi keburukan atau kejahatan sedikit pun dari segi mana pun, kerana Dia tidak pemah menciptakan keburukan yang murni dari segala arah. Sebab hikmah-Nya menolak untuk itu; kerana dengan begitu tidak ada kemaslahatan pada makhluk-Nya. Dia Mahasuci, di tangan-Nya-lah segala kebaikan, sedangkan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Nya. Apa yang dinisbatkan kepada-Nya tidaklah buruk. Dan penisbatan kepada-Nya tidaklah buruk. Dan penisbatan kepada-Nya sehubungan dengan Dia yang menciptakan dan menghendaki tidaklah buruk, kerana Dia adalah Mahabijaksana dan Maha-Adil, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang layak dan semestinya. Sedangkan perbuatan buruk, hal ini disandarkan kepada hamba kerana ia telah melakukan suatu pebuatan yang menyebabkan kehancuran. Sebagaimana Allah berfirman,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebahagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)

Rasulullah bersabda,

“Segala kebaikan adalah berada ditangan-Mu, sedangkan keburukan tidaklah (dinisbatkan) kepada-Mu.” (Hadis Riwayat Muslim 1/535)

Maksudnya, keburukan yang teijadi tidak dikembalikan kepada Allah; kerana ia kembali kepada dosa, ia terjadi kerana dosa yang dilakukan oleh hamba, maka tidak kembali kepada Asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, akan tetapi kembali kepada makhluk-makhluk-Nya. Wallahu a’lam!

Kesimpulan Madzhab Salaf (Pegangan Salaf) Dalam Persoalan Qadha’ dan Qadar

1 - Beriman kepada rububiyah Allah yang mutlak. Dia adalah Rabb, Penguasa yang menciptakan segala sesuatu, Yang mengajarinya, mentakdirkannya, menginginkannya serta menulisnya. Mahasuci Allah.

2 - Sesungguhnya seorang hamba mempunyai kemampuan, kehendak dan ikhtiar, yang dengan kesemuanya itu terwujudlah perbuatan-perbuatannya dan kerananya mereka diberi pahala atau siksa.

3 - Sesungguhnya kemampuan dan kemahuan hamba yang dengannya dapat menghasilkan pelbagai perbuatan tidaklah keluar dari qudrah Allah dan masyi‘ah-Nya. Dialah yang menganugerahkan semua itu kepadanya, dan menjadikannya mampu memilah dan memilih. Maka pekerjaan mana saja yang ia pilih tidaklah keluar dari masyi’ah, qudrah dan penciptaan Allah.

4 - Sesungguhnya beriman kepada qadar, yang baik mahupun yang buruk adalah berdasarkan penisbatannya kepada makhluk. Adapun jika dinisbatkan kepada al-Khaliq maka seluruh qadar adalah baik, dan keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah. Ilmu Allah, masyi’ah, penulisan serta penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu adalah hikmah, keadilan, rahmat dan kebaikan. Keburukan tidak masuk sedikit pun kepada sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan Allah. Tidak ada kekurangan atau keburukan pada Dzat Allah. Bagi-Nya adalah kesempumaan dan keagungan mutlak. Maka tidak dinisbatkan keburukan itu kepada-Nya secara tersendiri, sekalipun termasuk dalam makhluk-Nya; akan tetapi menciptakan dari segi ini saja tidaklah buruk.

VII. BERDALIH DENGAN QADHA’DAN QADA RUNTUK MELAKUKAN MAKSIAT

Sesungguhnya orang yang memahami erti qadha’ dan qadar, tingkatan-tingkatannya serta pendapat yang benar dalam masalah ini akan mudah baginya memahami hal-hal yang selama ini sering membingungkan orang yang dangkal pengetahuannya dalam hal ini. Yang paling tampak adalah apa yang dilakukan sebagian orang ketika ia meninggalkan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya, ia lalu beralasan itu memang sudah ditakdirkan Allah s.w.t.. Mereka berpendapat demikian untuk menghibur dan menenangkan diri mereka. Bahkan mereka mengaku bahawa hal tersebut bererti iman terhadap qadha’ dan qadar. Ini adalah kesalahan besar dalam memahami salah satu rukun iman. Yakni iman kepada qadar Allah, yang baik mahupun yang buruk, yang manis mahupun yang pahit, semuanya itu dari Allah.

Sebahagian pemahaman yang benar telah kita jelaskan pada perbahasan sebelumnya dan tidak perlu mengulanginya lagi berkali-kali. Maka kita sekadar menghuraikan seperti berikut ini:

a. Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi. Allah sendirilah, dengan Dzat dan sifat-sifat-Nya, bukan makhluk. Sedangkan selain Dia adalah makhluk. Dia adalah al-Khaliq. Dan termasuk makhluk-Nya adalah kebaikan dan keburukan, yang baik dan yang buruk.

b. Sesungguhnya hikmah Allah dalam menjadikan sebahagian makhluk-Nya sebagai mukallaf adalah sebagaimana firman Allah,

...agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.. .“ (Hud:7)

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih balk amalnya. Dan Dia Maha-Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 2)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitis mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)

Ayat-ayat di atas menunjukkan manusia diciptakan untuk diuji agar berbuat baik. Ini menurut kemampuannya untuk melakukan atau tidak setelah mengetahuinya. Dan kemampuan seperti itu telah terpenuhi dengan anugerah Allah yang berbentuk:

1 - Akal sihat, yang merupakan tumpuan taklif. Maka orang yang berakal adalah orang mukallaf, dan siapa yang hilang akalnya maka hilang pula sifat taklif.

2 - Normalnya alat yang menjadi tolok ukur kemampuan dari segi kesihatan dan kemampuan.

Adapun yang dimaksud dengan ma’rifat (mengetahui) adalah mengetahui apa yang diujikan. Dan Allah telah menjadikan sumber-sumber ma’rfat itu bemacam-macam; sebahagiannya lagi berasal dari luar dirinya. Adapun yang memotivasi kebaikan adalah fitrah, akal dan wahyu Allah yang diberikan kepada rasul-Nya yang telah disampaikan kepada umat manusia.

Sedangkan yang memotivasi kejahatan adalah syaitan yang memanfaatkan keinginan-keinginan nafsu. Allah memberinya kemampuan mengganggu manusia serta mempengaruhi mereka, dan Allah juga memerintahkan agar mereka meminta perlindungan kepada Allah dan kejahatannya. Allah berfirman,

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dan kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia’.” (An-Nas: 1-6)

Rasulullah telah bersabda,

“Sesungguhnya syaitan itu mengalir pada tubuh manusia seperti mengalirnya darah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 3/150, 9/87)

Allah adalah Hakim Yang Maha-Adil. Dia mempunyai hujjah yang nyata atas hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan faktor pendorong kebaikan lebih banyak daripada faktor pendorong kejahatan, dan Dia menjelaskan dua jalan ini dalam firman-Nya,

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad: 10)

Setelah itu manusia mengambil jalan yang ia kehendaki berdasarkan pilihannya. Maka siapa yang menempuh jalan kebaikan, menuruti berbagai faktor pendorong kebaikan, mengalahkan berbagai faktor pendorong kejahatan, maka dia berhak mendapat ganjaran. Dan siapa yang memilih jalan keburukan mengikuti berbagai faktor pendorong keburukan maka dia berhak mendapat siksa.

Dan semua perbuatannya itu terjadi atas kemahuan dan pilihannya sendiri. Dia merasa dengan sedar bahawa dia tidak dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan. Jika ia mahu, ia tidak melakukannya. Ini dapat dimengerti secara sempurna dan dirasakan oleh setiap insan dan juga dinyatakan oleh dalil-dalil al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang suci.

Kemudian perlaksanaan kebaikan dan keburukan oleh manusia tidaklah menafikan penisbatannya kepada Allah yang menciptakan, kerana Dia adalah yang menciptakan segala sebab-sebab kejadian.

Sesudah ini maka barangsiapa beralasan dengan qadar untuk berbuat maksiat, maka alasannya tidak masuk akal dan tidak diterima. Allah telah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi’ah Allah atas kekufuran mereka dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang menyekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, nescaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.’ Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakan kepada Kami? Kamu tidak lain hanyalah berdusta.’ Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya’.” (Al-An’am: 148-149)

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik kami mahupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin) mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang’.” (An-Nahl: 35)

Mereka berdalil dengan masyi’ah Allah atas ridha dan mahabbahNya. Mereka menjadikan masyi’ah sebagai tanda ridha. Padahal Allah tidak mencintai kesyirikan dan tidak pula meridhainya, bahkan Allah mengutuknya serta melarangnya. Maka apa yang Dia perintah itulah yang diridhai dan dicintai, dan apa yang dilarangNya itulah yang dicela dan dimurkai. Dan keberadaanya sebagai hal yang dimurkai oleh Allah tidak mengeluarkan dia dan masyi’ah Allah yang bersifat universal (kauniyah) yang mencakup segala sesuatu. Berhujjah dengan qadar adalah merusak arti pembalasan atas amal perbuatan, dan merusak hikmah penciptaan surga dan neraka. Allah berfirman,

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus: 99).

Akan tetapi masyi’ah menghendaki adanya taklif.

Kemudian orang yang berdalih dengan takdir tidak mahu menerima hujjah orang lain yang juga berdalih dengan takdir dalam hal mengambil hartanya misalnya, atau sejenisnya. Bahkan ia menuntut haknya dan meminta agar diterapkan hukuman atas orang yang menyalahinya. Seandainya takdir itu hujjah, tentu akan menjadikan hujjah bagi semuanya, dalam segala urusan dan dalam keadaan/situasi apapun.

VIII. HUKUM BERDALIH DENGAN TAKDIR KETIKA TERTIMPA MUSIBAH

Berhujjah dengan takdir atas tertimpanya musibah adalah dibolehkan. Segala musibah yang telah ditakdirkan menimpa manusia wajib diterima dengan redha. Ini adalah hadis pembelaan Nabi Adam a.s. di hadapan Musa Rasulullah a.s., bersabda,

“Adam dan Musa berbantah-bantahan, Musa berkata, ‘Wahai Adam, Anda adalah bapak kami, Anda telah mengecwakan kami dan mengeluarkan kami dari syurga’. Maka Adam berkata kepadanya, ‘Engkau Musa, Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya dan menuliskan untukmu dengan Tangan-Nya. Apakah engkau (bertindak) mencelaku berdasarkan suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah menimpaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi s.a.w., bersabda, ‘Maka Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2042-2043)

Adam berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpanya, iaitu keluar dari syurga. Kerana itu Musa a.s. menyalahkan Adam dan berkata, ‘Mengapa engkau mengeluarkan kami dari syurga?’ Maka ternyata hujjah Adam menolak hujjah Musa a.s.. Allah telah menetapkan bahawa Adam dan anak keturunannya akan hidup di dunia, dan mereka diciptakan untuk itu, seperti yang dikhabarkan Allah s.w.t.;

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalfah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerosakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhanmu berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (A1-Baqarah: 30)

Maka hujjah Adam menolak hujjah Musa, dan Musa tidak menyalahkan Adam atas kemaksiatannya iaitu memakan sesuatu dari pohon, Musa lebih mengerti untuk tidak mencela Adam atas dosa yang dia telah bertaubat kepada Allah, dan Allah pun menerima taubatnya. Dan Adam lebih mengerti untuk tidak berhujjah dengan takdir bahawa orang yang berdosa tidak mendapat cela. Wallahu a’lam!

Dipetik/disunting dari terjemahan (indonesia) terhadap kitab – التوحيد للصف الثاني العالي (Selengaraan Sheikh Dr. Soleh bin Abdullah al-Fauzan)

Wednesday, December 12, 2007

023 - BERIMAN KEPADA HARI AKHIR (Bahagian 2)

BERIMAN KEPADA HARI AKHIR (Bahagian Kedua (2))

V. KEBANGKITAN DAN MAHSYAR

Setelah mengetahui dalil-dalil ba‘ts (kebangkitan), akan diterangkan sifat-sifat-nya. Yakni setelah tiupan sangkakala pertama dan matinya semua makhluk, mereka tetap seperti itu untuk masa tertentu sebelum ba’ts. Sebagaimana disebutkan dalam hadis al-Bukhari dan Muslim dar Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda,

“Jarak antara dua tiupan itu 40 (empat puluh). Mereka bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah apakah 40 hari?’ Dia berkata, ‘Saya menolak (tidak mahu menjelaskan). Mereka bertanya, ‘Empat puluh bulan?’ Dia berkata, ‘Saya menolak.’ Mereka bertanya, ‘Empat puluh tahun?’ Dia berkata, ‘Saya menolak.’ Kemudian Allah menurunkan air dari langit, maka mereka bermunculan seperti tumbuhnya sayuran. Dia berkata, ‘Tidak ada bahagian manusia yang tidak hancur kecuali satu tulang, yaitu ‘Ajbudz dzanab (Ajbu adalah bahagian akhir, dzanab adalah ekor. Jadi maksudnya, bagian kecil pada tulang ekor, yang mana tulang ekor pada manusia tu terdiri dari tiga atau empat ratus (pent.)), darinya makhluk itu disusun kembali pada Hari Kiamat.’ (Hadis Riwayat Muslim 4/2270-2271)

Apabila ajbudz dzanab sudah tumbuh dan jasad-jasad sudah utuh seperti semula, ditiuplah sangkakala yang kedua kalinya. Lalu kembalilah semua ruh ke dalam jasad masing-masing. Allah berfirman,

Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). (at-Takhwir 81: 7)

Pertama kali Allah berfirman,

(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagaimana menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya. (al-Anbiya’ 21: 104)

Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?." Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya). (Yasin 36: 51-52)

(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari ke luar (dari kubur). (Qaaf 50: 42)

“(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-Muthaffifin 83: 6)

Dan ayat-ayat dalam hal mi banyak sekali.

Sesudah kebangkitan ini manusia digiring ke tanah mahsyar (tempat berkumpul).

Allah berfirman,

(Yaitu) pada hari bumi terbelah-belah menampakkan mereka (lalu mereka ke luar) dengan cepat. Yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah bagi Kami. (Qaaf 50: 44)

Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka. (al-Kahfi 18: 47)

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk. (Yunus 10: 45)

Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat petunjuk bahwa pengumpulan manusia (hasyr) adalah salah satu kenyataan akhirat, yaitu pengumpulan mereka menuju tanah mahsyar dan tempat kebangkitan mereka dengan cara yang berbeza-beza.

Di sanalah semua makhluk akan berdiri, terus berdiri lama sekali menunggu keputusan hukum. Sementara keadaan mereka bermacam-macam berdasarkan keadaan mereka di dunia. Maka nampaklah amalan-amalan manusia dan tidak tersembunyikan dari siapa pun, ditambah lagi dengan ketakutan dan kengerian di tempat berdiri mereka. Maka mereka mencari orang yang dapat memberi syafaat untuk mereka kepada Allah agar memutuskan hukum di antara mereka. Maka mereka memohon kepada bapak mereka, Adam Lalu beliau menyuruh mereka mendatangi Nabi Nuh a.s., dan Nuh pun menyuruh agar mereka pergi kepada Ibrahim lalu Ibrahim menyuruh mereka mendatangi Musa; semuanya beralasan bahwa Allah pada hari itu murka, belum pernah murka seperti itu dan tidak akan murka sesudah itu sepertinya, serta mereka beralasan pula dengan kesalahan yang pemah terjadi pada diri mereka. Lalu Musa menyuruh mereka mendatangi Isa dan beliau beralasan bahawa Allah sedang murka, tidak pernah murka seperti itu dan tidak akan murka lagi Sepertinya, kemudian beliau menyuruh mereka mendatangi Nabi Muhammad s.a.w., maka beliau pun memberi syafaatnya. Kemudian Allah mengizinkan pelaksanaan qadha’ (keputusan hukum) bagi segenap makhluk (Harap dirujuk kembali pada hadis syafaat yang panjang dalam Kutub Sittah, seperti al-Bukhari 9/179, Muslim 1/184 dan 186, Musnad Ahmad 2l/435-436.). Dan Allah Maha cepat Penghitungan-Nya.

Berikut ini beberapa dalil tentang keadaan yang terjadi pada Hari Kiamat sebelum masuk syurga atau neraka:

Pertama: ARDH (Penyodoran) dan HISAB (Penghitungan Amal) Maksudnya adalah Allah memperlihatkan kepada manusia apa saja yang telah dilakukannya di dunia dan menjadikannya mengakui hal tersebut. Sebagaimana Allah akan mengqishash sebahagian makhluk untuk sebahagiannya, serta memutuskan hukum di antara mereka. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Dalil-dalilnya di dalam al-Quran dan Hadits sangat banyak, antara lain firman Allah,

Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), (al-A’raaf 7: 6)

Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka. (al-Kahfi 18: 47)

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. (al-Mukmin 40: 17)

Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka. (al-Ghasyiyah 88: 25-26)

Allah lah, yang mengurus hisab para makhluk dengan sendiri-Nya, berdasarkan hadis al-Bukhari dan Muslim dari Adi Ibnu Hatim, dia berkata, Rasulullah bersabda,

“Tidak seorang pun di antara kalian melainkan Allah akan mengajaknya bicara, tidak ada antara Allah dan dia penerjemah. Maka dia melihat ke sebelah kanannya ternyata dia tidak melihat kecuali apa yang telah dia persembahkan dari amalnya (yang baik), dan melihat sebelah kirinya maka ia pun tidak melihat kecuali apa yang telah ia kerjakan, dan dia melihat di hadapannya maka dia tidak melihat kecuali neraka di hadapan wajahnya. Kerana itu takutilah neraka sekalipun dengan (bersedekah) separuh kurma.” (HR. al-Bukhari 9/181, Muslim 2/703- 704)

Kemudian didatangkanlah kitab-kitab yang telah dicatat oleh para malaikat yang mengawasi bani Adam agar setiap orang membaca isinya dan supaya masing-masing berdiri memperhatikan amalnya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya,

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." (al-Kahfi 18: 49)

Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu." (al-Isra’ 17: 13-14)

Setiap orang mengetahui keadaannya sebagaimana manusia mengetahui hal itu ketika pembahagian kitab (catatan amal). Maka barangsiapa kitabnya diberikan dengan tangan kanan maka dia termasuk orang yang beruntung dan hisabnya mudah serta dimudahkan. Dan barangsiapa diberikan kitabnya dengan tangan kirinya dan belakang punggungnya maka hisabnya sulit dan barang siapa dipersulit hisabnya maka ia binasa; berdasarkan hadis al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah bahwa ia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Tidaklah ada orang yang dihisab kecuali binasa (celaka).” Aisyah berkata, “Ya Rasulullah -semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusan Anda - bukankah Allah s.w.t. berfirman,

Maka adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah.’ (Al-Insyiqaq: 7-8).

Beliau menjawab, “Itu adalah penyodoran amal, mereka diperlihatkan amalnya. Dan siapa yang diperinci hisabnya maka ia binasa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 6/208, lihat Muslim 4/2204-2205)

Di antara kurnia Allah dan kasih sayang-Nya kepada orang-orang mukmin, Dia tidak mempersulit hisab atas amal-amal mereka melainkan hanya memperlihatkan amal kepada mereka serta meminta mereka untuk mengakuinya. Termasuk di dalamnya sesuatu yang Allah sembunyikan atas mereka di dunia, begitu pula pada mauqif (mahsyar) ini tidak seorang pun yang mengetahuinya. Allah berkata kepada orang-orang mukmin, ‘Aku telah menutupi hal itu di dunia dan hari ini Aku mengampuninya’.”

Berbeza dengan orang kafir, maka diumumkan amal mereka di hadapan makhluk sejagat, berdasarkan hadis Ibnu Umar r.a. beliau ditanya, “Bagaimana Anda mendengar sabda Rasulullah tentang an-Najwa?” Beliau berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Orang mukmin pada Hari Kiamat akan didekatkan dari Tuhannya sampai Dia meletakkan atasnya tabir-Nya, lalu Dia membuatnya untuk mengakui dosa-dosanya, maka Dia bertanya, ‘Apakah engkau mengetahui?’ Dia menjawab, ‘Wahai Tuhanku, saya mengetahui.’ Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosa itu atasmu di dunia dan sesungguhnya Aku mengampuni hari ini untukmu.’ Maka diberikanlah catatan kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka dipanggillah mereka di hadapan para makhluk; mereka itulah yang berbohong atas (nama) Allah.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2120, al-Bukhari 6/93)

Allah telah menghitung semua amal makhluk, yang baik mahupun yang buruk. Allah berfirman,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, nescaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)

“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Mujadilah: 6)

Maka setiap orang akan melihat amalnya, tidak ada alasan untuk mengingkarinya, kerana bumi akan bersaksi dan anggota badan pun akan berbicara. Allah berfirman,

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, ‘Mengapa bumi (jadi begini)?’, pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (Al-Zalzalah: 1-4)

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Yasin: 65)

Jadi suasana benar-benar tegang dan menakutkan. Orang yang cerdik adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk menghadapi apa yang terjadi sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya. Sementara dia mengharapkan dan Allah berbagai macam harapan.

Kedua: HAUDH (Telaga)

Haudh adalah tempat berkumpulnya air. Bentuk jamaknya adalah hiyadh. Sedangkan yang dimaksud dengan haudh di sini adalah telaga besar tempat minumnya umat Muhammad s.a.w., pada Hari Kiamat, kecuali orang yang menyalahi petunjuknya dan menggantinya (dengan yang lain) sesudah wafat beliau terdapat hadis-hadis mutawatir tentang haudh beserta sifatnya, antara lain:

a) Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi bersabda,

“Sesungguhnya ukuran haudhku adalah seperti jarak antara Aylah (Aylah adalah kota terkenal di hujung Syam di tepi laut merah, di tengah-tengah antara Madinah, Damaskus dan Mesir. Ada yang mengatakan ia adalah kota perbatasan antara Hijaz dan Syam (pent.)) dan San‘a dari Yaman. Dan sesungguhnya di dalamnya terdapat bejana-bejana sebanyak bilangan bintang-bintang di langit.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 8/149, dan Muslim 4/1800)

b) Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanad dan Abdul Malik bin Umair, ia berkata, ‘Saya mendengar Jundub 4 berkata bahwa saya mendengar Nabi bersabda,

“Aku mendahului kalian atas haudh.” (HR. al-Bukhani 8/151, Muslim 4/1792)

c) Dalam Shahihain (Bukhari & Muslim) dan lainnya dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda di tengah-tengah sahabatnya,

“Sesungguhnya aku berada di atas haudh, aku menunggu siapa di antara kalian yang datang kepadaku. Demi Allah, sesungguhnya onang-orang pasti akan dihalangi sebelum sampai kepadaku. Kemudian aku pasti akan berkata, ‘Ya Rabbi, (mereka) itu dan golonganku, dan umatku!’ Maka Dia berfirman, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu, mereka mundur berpaling’.” (Haids Riwayat al-Bukhari 8/151-152, Muslim 4/1794)

Di dalam hadits-hadits yang telah kami sebutkan tadi terdapat bukti tentang penetapan haudh Rasul s.a.w. dan sebahagian ciricirinya, dan bahwasanya Rasulullah s.a.w. mendatanginya terlebih dahulu sebelum umatnya, dan sesungguhnya melakukan bid’ah serta menyalahi perintah-perintah Rasul menjadi penghalang untuk meminum di telaga Rasul s.a.w.

Di antara sifat haudh yang ada di dalam hadis-hadis adalah ia sangat luas dan lebar, luas dan panjangnya sama, setiap sisi dan sisi-sisinya adalah sejauh perjalanan satu bulan, airnya berasal dan telaga al-Kautsar, di tengahnya terdapat dua pancuran dan surga, airnya lebih putih daripada susu, lebih dingin daripada salji, lebih manis daripada madu dan lebih wangi daripada minyak kesturi, dan cangkir-cangkirnya sebanyak jumlah bintang di langit; siapa yang meminum darinya tidak akan haus selama-lamanya.

Sesungguhnya beriman kepada haudh dan sifat-sifatnya adalah wajib atas setiap muslim, karena hal tersebut disampaikan secara benar dari Rasulullah s.a.w., tanpa ada keraguan sedikit pun; yang dapat difahami dan zahir lafaznya tanpa memerlukan takwil.

Ketiga: MIZAN (Timbangan)

Mizan adalah alat untuk mengukur. Yang dimaksudkan di sini adalah mizan yang sesungguhnya (hakiki), yang mempunyai dua daun timbangan yang nyata dipasang untuk menimbang amal para hamba sesudah selesai hisab, penetapan amal dan penyodorannya kepada anak Adam.

Di sini tenlihat keadilan Allah dan tidak seorang pun yang dizalimi sedikit pun. Dia mendatangkan amal-amal manusia sekalipun seberat satu biji sawi, untuk menunjukkan ukuran beratnya agar balasannya setimpal dengannya.

Boleh jadi timbangan amal itu banyak jumlahnya, tetapi mungkin juga hanya satu (wallahu a‘lam), dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, yang jelas dalil-dalil tentang keberadaan mizan dan penimbangan amal sangat banyak, antara lain:

a) Firman Allah,

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf 7: 8-9)

b) Firman Allah,

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (AlAnbiya’: 47)

c) Firman Allah,

“Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Neraka Jahanam.” (Al-Mu’minun: 102-103)

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu? (Iaitu) api yang sangat panas.” (Al-Qariah: 6-11)

Dalam ayat-ayat di atas terdapat dalil-dalil yang menuniukkan bahwa mawazin (timbangan-timbangan) itu haq (benar), penimbangan amal itu benar, dan keselamatan atau kerugian yang didasarkan atas berat dan ringannya timbangan amal juga benar. Sesungguhnya amal-amal yang ditimbang adalah benda yang tidak berwujud yang tidak dapat ditimbang di dunia, akan tetapi bisa ditimbang di akhirat. Sebab hukum yang berlaku di sana bukan hukum dalam kehidupan kita di dunia. Juga amal-amal yang ditimbang tadi berbeza-beza berat dan ringannya, bergantung pada niat dan keikhlasan yang menyertainya. Jadi yang dinilai di dalam timbangan bukanlah dzat amalnya saja, tetapi juga unsur yang mengiringi, kerana banyak sekali orang-orang yang membaca syahadat, tetapi kejahatannya mengalahkan amal solehhnya. Padahal seandainya syahadat diletakkan pada salah satu daun mizan kemudian langit dan bumi beserta isinya diletakkan pada daun mizan yang lain, niscaya syahadatlah yang lebih berat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. (Lihat Musnad Imam Ahmad 11/170, 786 dan 225)

Wallahu a ‘lam.

Keempat: SHIRATH (Jalan)

Shirath adalah thariq atau jalan. Yang dimaksudkan di sini ialah jambatan yang membentang di atas punggung Neraka Jahannam sebagai satu-satunya jalan menuju syurga Allah. Lewat di atas shirath adalah berlaku umum bagi seluruh manusia, yang tidak mungkin masuk ke surga kecuali setelah berhasil melewati jambatan ini.

Allah berfirman,

“Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi Neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam 19: 71)

Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa melewati shirath adalah suatu pemandangan yang menakutkan, membuat orang lupa akan keluarga dan kerabatnya, sampai ia mampu memungkin untuk gagal dan berhasil.

Kemampuan menyeberang adalah terpulang kepada istiqamahnya seseorang dalam meniti agama Islam, atau ash-shirath al-mustaqim, atau jalan orang-orang yang diberi nikmat. Maka barangsiapa beristiqamah di atas agama yang Allah ridhai, iaitu shirath yang bersifat maknawi, maka ia akan mampu menyeberang di atas shirath yang bersifat inderawi sesuai dengan nilai istiqainahnya.

Barangsiapa menyimpang dari shirath mustaqim di dunia di waktu kemakmurannya, maka dia tidak akan tahan di atas shirath yang licin di saat kalut dan ketakutan, dan dia benar-benar kehilangan kenderaannya iaitu amal shaith.

Di antara dalil-dalil shahth yang menunjukkan shirath, sifat-sifat dan penyeberangan di atasnya adalah sebagai berikut:

a) Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dengan sanadnya dari Abu Hurairah di dalam hadis yang panjang Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Dibentangkan shirath itu di antara dua tepi Jahanam. Aku dan umatku adalah orang yang pertama kali melewatinya. Tidak ada yang berbicara melainkan para rasul, dan doa para rasul pada hari itu adalah, ‘Allahumma sallim, sallim (Ya Allah! Selamatkanlah, selamatkanlah).’ Dan di dalam Jahanam terdapat kait-kait seperti duri pohon sa’dan (Sa’dan adalah sebuah pohon yang dipenuhi oleh duri-duri besar. (pent.)). Apakah kalian pernah melihat pohon sa‘dan? Mereka menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah’. Beliau menjawab, ‘Dia itu seperti duri-duri pohon sa‘dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui ukuran besarnya selain Allah. Dia itu merenggut manusia sesuai dengan amal perbuatannya. Maka di antara mereka ada yang tetap (tidak direnggut) karena amalnya, dan di antara mereka ada yang dibalas sampai diselamatkan...” (HR. Muslim 1/163-166, al-Bukhari 8/146-148)

b) Apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah dan dari Hudzaifah, Rasulullah s.a.w. bersabda dalam hadis syafaat yang di dalamnya terdapat “Lalu mereka mendatangi Muhammad s.a.w.. Maka beliau berdiri kemudian diizinkan baginya. Kemudian diutuslah amanah dan (silatur) rahim (Diutusnya amanah dan rahim karena begitu besar nilainya dan seringnya terjadi. Maka mereka berdua nampak dalam satu perjalanan sesuai dengan kehendak Allah. (pent.))” Maka keduanya berdiri pada kedua tepi shirath sebelah kanan dan kiri. Kemudian orang pertama dan kalian melewati (shirath) bagaikan kilat. Ia bertanya, saya berkata, Kujadikan bapak dan ibuku sebagai tebusan bagi Anda, apa itu seperti kilat?’ Beliau bersabda,

“Tidakkah kalian melihat kilat, bagaimana ia lewat dan kembali dalam sekejap mata? Kemudian (ada yang) seperti jalannya angin, kemudian seperti terbangnya burung dan seperti larinya orang laki-laki. Dan amal-amal mereka berjalan membawa mereka. Nabi berdiri di atas shirath sambil berdo’a, ‘Rabbi, sallim, sallim (Tuhanku! selamatkan, selamatkan) sampai ada hamba-hamba yang menjadi lemah amalnya (Tidak mampu membawa mereka melintas shirath (pent.)),’ hingga datang seorang laki-laki dan ia tidak dapat berjalan kecuali dengan merangkak. Beliau bersabda, ‘Di antara kedua sisi shirath terdapat kait-kait menggantung yang diperintah untuk mengambil orang-orang yang diperintahkan kepadanya (untuk mengambilnya), maka ada yang terluka kulitnya (tetapi) selamat (dari neraka) dan ada yang didorong ke dalam neraka.” (HR. Muslim 1/186-187)

Dalam hadis-hadis tersebut terdapat dalil adanya shirath, sifatnya, dahsyatnya suasana dan bahwasanya amal-amal itu adalah sarana untuk melintasi shirath dan sebab keselamatan, kerana firman Allah s.w.t.,

“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bentakwa dan membiarkan orang-orang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (Maryam: 72)

Maksudnya Allah menyelamatkan mereka sesudah melintas shirath, dan membiarkan orang-orang zalim tetap berlutut di atas shirath tidak boleh melewatinya.

Apabila kita perhatikan dari keterangan di atas, kenyataan-kenyataan yang ada di Hari Akhir adalah samar, tidak mampu dimengerti dengan akal, kerana memang tidak ada bandingnya dengan kenyataan duniawi. Maka wajib untuk tidak mempersulitkan hakikat perkara-perkara ini, dan menyerahkan ilmunya kepada Allah. Wallahu a’lam!

Kelima: SYAFA'AT

Syafaat adalah mengumpulkan sesuatu (menggabungkannya) dengan sejenisnya. Syafaat juga artinya wasilah (perantara) dan thalab (permintaan). Ini erti syafaat secara bahasa, adapun menurut istilah, syafaat ialah: سوال الخير للغير (meminta kebaikan untuk orang lain). Dengan kata lain, berpihak atau bergabung kepada orang lain sebagai penolongnya, dan sebagai orang yang meminta (kebaikan) untuknya. Sedangkan yang lebih banyak dipergunakan dalam hal ini adalah bergabungnya orang yang lebih tinggi derajat dan martabatnya kepada orang yang lebih rendah.

Termasuk syafaat adalah doa seseorang untuk saudaranya dan permohonannya kepada Allah agar menuntun (saudara)nya kepada kebenaran, atau agar menolak darinya segala hal yang berbahaya, atau agar mengampuni segala dosanya, baik itu dilakukan di dunia dan orang hidup untuk orang yang meninggal mahupun pada Har Kiamat nanti.

Syafaat merupakan satu sebab dari sekian sebab yang membuat Allah berbelas kasih kepada orang yang Dia kasihi dan hamba-Nya. Maka yang berhak mendapatkan syafaat adalah ahli tauhid, dan yang terhalang adalah ahli syirik. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48 dan 116)

Syafaat di sisi Allah berbeda dengan syafaat yang ada pada selainNya. Ia harus memenuhi dua syarat:

Syarat pertama:

Izin Allah kepada syafi’ (orang yang memberi syafaat) untuk memberikan syafaatnya. Ini berdasarkan firman Allah,

“Siapakah yang dapat membeni syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Al-Baqarah 2: 255)

“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meredhai perkataannya.” (Thaha 20: 109)

“Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu “(Saba’: 23)

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya).” (An-Najm: 26)

Sayyidusy-Syufa’a bersabda dalam hadits syafaat yang panjang:

“Maka aku meminta izin kepada Rabbku, lalu diizinkanlah aku, Dia mengilhami aku bacaan-bacaan tahmid yang aku gunakan untuk bertahmid, aku tidak mengenalnya sekarang, maka aku bertahmid dengan bacaan-bacaan tahmid itu dan aku menunduk sujud kepada-Nya. Kemudian dikatakan, ‘Hai Muhammad, angkatlah kepalamu, katakanlah engkau akan dikabulkam, mintalah engkau akan diberi dan berikanlah syafaat engkau akan dikabulkan syafaatmu’.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 9/179-180 dan Muslim 1/180-181)

Syarat kedua:

Redha terhadap masyfu’lahu (orang yang disyafaati). Dan redha Allah tidak dapat diperoleh kecuali dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apa yang Dia perintah adalah diredhai dan apa yang Dia larang adalah dimurkai. Dalil-dalil tentang hal itu banyak sekali, antara lain firman Allah,

“Mereka tidak memberikan syafa’at kecuali kepada orang yang Dia redhai.” (Al-Anbiya: 28)

“Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafa’atnya.” (Ghafir/Mukmin 40: 18)

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dan orang-orang yang memberikan syafaat.” (Al-Muddatstsir: 48)

Sabda Rasulullah dari Abu Hurairah r.a.,

“Setiap nabi mempunyai doa mustajab dan setiap nabi bersegera menggunakan doanya. Sedangkan doaku, aku simpan sebagai syafaat bagi umatku di Hari Kiamat. Ia akan diperolehi -insya Allah- oleh orang yang mati dan umatku yang tidak menyekutukan Allah sedikit pun.” (Hadis Riwayat Muslim 1/189)

Dalil-dalil dua syarat ini banyak sekali. Semua menjelaskan, syafa’at pada Hari Kiamat tidak akan ada kecuali bagi orang-orang yang diizinkan-Nya dan Dia tidak akan mengizinkan kecuali bagi para wali-Nya (kekasih-Nya) yang pilihan. Dan para wali ini tidak akan memberi syafa’at kecuali kepada orang-orang yang diredhai Allah dari ahli tauhid. Sebagaimana syafaat itu akan diberikan kepada orang yang mengucapkan, “La ilaha illallah”, sekalipun sesudah masuk neraka; dengan menyelamatkannya dari neraka. Syafaat tidak akan ada dari ahli syirik, karena ia adalah milik Allah semata. Seperti firman Allah,

“Katakanlah, kepunyaan Allah-lah syafa’at itu semua.” (Az-Zumar 39: 44)

Maka tidak diperbolehkan meminta syafaat dari selain Allah s.w.t.

Macam-Macam Syafaat

Syafaat ada lapan jenis, iaitu:

1) Syafaat Agung (Syafaat Uzhma), yaitu khusus milik Nabi Muhammad s.a.w., yakni yang disebut ma qarn rnahmud yang dijanjikan Allah dengan firman-Nya,

“...mudah-mudahan Tuhanmu rnengangkat karnu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isra 17: 79)

Iaitu ketika suasana mahsyar telah menjadi dahsyat. Mereka mencari syafaat agar mereka segera diberi keputusan. Maka mereka mendatangi Adam a.s., kemudian Nuh a.s., kemudian Ibrahim a.s., kemudian Musa a.s. kemudian Isa bin Maryam a.s. yang kesemuanya mengatakan, “Nafsi-nafsi.” Sehingga berakhir kepada Nabi kita Muhammad s.a.w. dan beliau berkata, “Ana laha (aku akan melakukannya).” (Lihat al-Bukhari 9/179-180, dan Sahih Muslim 1/180-187)

2) Syafaat untuk penduduk syurga agar dapat memasukinya. Sebagaimana riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik r.a., ia berkata bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Aku adalah orang pertama yang memberi syafa’at untuk masuk Syurga dan aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya.” (Hadis Riwayat Muslim 1/188)

3) Syafaat untuk orang-orang yang jumlah kebaikannya sama dengan dosanya supaya boleh masuk Surga.

4) Syafaat untuk mengangkat darjat ahli syurga di atas yang semestinya.

5) Syafaat untuk orang-orang yang sudah diputuskan masuk neraka supaya tidak jadi masuk neraka.

6) Syafa’at untuk orang-orang agar boleh masuk syurga tanpa hisab. Di antara dalilnya ialah sabda Rasulullah s.a.w. kepada Ukasyah bin Mihshan ketika meminta dari beliau agar memohon kepada Allah supaya ia dijadikan termasuk golongan 70000 orang yang akan masuk syurga tanpa hisab:

“Ya Allah, jadikanlah ia termasuk di antara mereka.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 8/140 dan Muslim 1/197-198)

Allah berfirman kepada Nabi Muhammad s.a.w. dalam hadis syafaat:

“Masukkanlah dari ummatmu orang-orang yang tidak dihisab dari pintu kanan dan pintu-pintu surga.” (HR. Muslim 1/185-186)

Dan ini terjadi sesudah syafaat.

7. Syafaat untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang berdosa besar yang telah masuk neraka agar dikeluarkan dari neraka. Sebagaimana diterangkan dalam hadis-hadis yang mencapai darjat mutawatir. Syafa’at ini umum; berkali-kali dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., juga malaikat dan para nabi serta orang-orang mukmin akan memberi syafa’atnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits syafaat (lihat Shahih al-Bukhari 9/ 185-191, dan Sahih Muslim 1/179-184)

8. Syafaat Rasulullah s.a.w., untuk meringankan siksa pamannya Abu Thalib berdasarkan riwayat al-Bukhari dan Muslim dengan sanadnya dari Abu Said al-Khudhri r.a., bahawasanya Rasulullah s.a.w. ketika disebut pamannya, Abu Thalib di hadapannya maka beliau bersabda,

“Mudah-mudahan syafa’atku akan menolongnya pada Hari Kiamat, kemudian ia ditempatkan di Dhahdhah (Dhahdhah adalah genangan air yang dangkal yang membasahi sampai mata kaki. Kemudian istilah ni dipinjam untuk api yang tidak besar nyalanya, yang hanya membakar sampai mata kaki. (pent.)) dan neraka yang membuat otaknya mendidih.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 8/144 dan Muslim 1/195)

Syafaat beliau tidak boleh membuatnya keluar dari api neraka, kerana dia meninggal dalam keadaan musyrik, berbeza dengan muwahhid (orang-orang yang bertauhid). Wallahu a‘lam!

Tuesday, December 11, 2007

022 - BERIMAN KEPADA HARI AKHIR (Bahagian 1)

BERIMAN KEPADA HARI AKHIR (Bahagian Pertama (1))

I. BERIMAN KEPADA HARI AKHIR SERTA MAKSUDNYA

Beriman kepada hari Akhir adalah rukun ke lima dan rukun-rukun iman. Ertinya ialah meyakini dengan pasti kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah dalam kitab suci-Nya dan setiap hal yang diberitakan oleh Rasul-Nya mulai dari apa yang akan terjadi sesudah mati, fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, dan apa yang terjadi sesudah itu seperti kebangkitan dari kubur, tempat berkumpul di akhirat (mahsyar), catatan amal (shuhuf), perhitungan (hisab), timbangan (mizan), telaga (haudh), titian (shirath), pertolongan (syafa‘ah), syurga dan neraka serta apa-apa yang dijanjikan Allah bagi para penghuninya.

Dail-dalil tentang kewajiban beriman terhadap hal-hal tersebut banyak sekali. Ada yang bersifat umum tentang beriman kepada perkara-perkara akhirat sebagai pujian atas orang-orang mukmin yang mengimani adanya hari Akhir, atau sebagai perintah untuk mengimani hal tersebut. Ada juga yang bersifat khusus untuk sebahagian perkara akhirat, seperti adzab kubur dan kenikmatannya, kebangkitan (ba‘ts), pengumpulan (hasyr) dan lain-lain. Hal itu banyak sekali disebut di dalam al-Qur’an dan Sunnah yang suci.

Pertama: Dalil-dalil Umum

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah 2: 62)

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam perang. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah 2: 177)

Sabda Rasulullah sebagai jawaban atas pertanyaan Jibril tentang iman,

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik mau pun yang buruk.” (HR. Muslim 1/36-37)

Kedua: Dalil-dalil Khusus tentang Sebagian Perkara Akhirat

a) Firman Allah tentang kebangkitan (ba‘ts),

“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dan kuburmu) di Hari Kiamat.” (Al-Mu’minun: 16)

b) Firman Allah tentang Perhitungan (hisab),

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. Ada pun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Ada pun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku.’ Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Al-Insyiqaq: 6-12)

Ayat-ayat di atas menunjukkan balasan atas amal kebaikan, hisab (perhitungan) yang mudah, pemberian catatan amal (shuhuf) bagi para ahli kebaikan dengan tangan kanan dan kesenangan sesudah itu, serta menunjukkan hisab yang sulit, pemberian shuhuf kepada orang-orang yang berbuat jahat dari belakang punggungnya dengan tangan kiri dan siksa neraka sesudah itu.

c) Firman Allah,

“Sesungguhnya Kami telah memberimu al-Kautsar.” (Al-Kautsar: 1)

Iaitu telaga yang diberikan kepada Rasulullah s.a.w., sebagai tempat minum umatnya, kecuali orang yang menyalahi sunnahnya.

II. MANHAJ (METODE) AL-QUR’AN DALAM MENETAPKAN BA ‘TS

Sesungguhnya di antara ajaran Rasulullah yang ditentang oleh kebanyakan masyarakat Jahiliyah adalah tentang kebangkitan dari kubur. Mereka menganggap mustahil hidup kembali setelah tubuh hancur dan melebur dengan tanah. Allah mengisahkan hal ini dalam firman-Nya,

“Dan jika (ada sesuatu) yang kamu hairankan, maka yang patut menghairankan adalah ucapan mereka, ‘Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sesungguhnya akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?’ Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya; mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Ar-Ra’d: 5).

Allah juga berfirman,

“Mereka berkata, ‘Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan? Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang dahulu kala!” (Al-Mu’minun: 82-83)

Sebagaimana mereka juga mengucapkan,

“Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin.” (Qaf: 3)

Allah berfirman tentang mereka,

“Dan mereka berkata, ‘Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhtinnya.” (As-Sajdah: 10)

Ayat-ayat yang disebutkan Allah tentang pengingkaran orang-orang musyrik terhadap hari kebangkitan lebih banyak dari yang kami kemukakan. Semuanya mengisahkan ketidak-percayaan mereka tentang apa yang dijanjikan Allah mengenai perkara kehidupan akhirat dan hisab amal perbuatan.

Al-Qur’an telah meyakinkan adanya ba’ts beserta sanggahan atas orang-orang yang mengingkarinya dengan kaedah yang hebat dan jitu, sehingga memaksa akal yang sihat untuk menerimanya dan tunduk kepadanya. Kebanyakan metode itu boleh disaksikan, dikesan dengan pancaindera serta difahami oleh akal secara nyata. Di antaranya terjadi pada keadaan-keadaan tertentu seperti-mana yang diberitakan oleh al-Qur’an.

Beberapa kaedah-kaedah tersebut ada empat macam, iaitu:

- Kaedah pertama:

Beristidlal dengan penciptaan langit dan bumi dan perkara-perkara yang agung yang menjadi saksi atas kesempumaan dan kecanggihan ciptaan Allah serta bukti atas kekuasaan Allah yang kukuht; suatu perkara yang mengharuskan kemaha-kuasaan Allah atas perkara yang lebih kecil dari itu. Allah menjelaskan hal ini:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah berkuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran.” (Al-Isra: 99)

“Masihkah mereka ingkar dan tidak mahu memikir serta mengetahui Bahawa Sesungguhnya Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi Dengan tidak mengalami kesukaran Dalam menciptakannya - berkuasa menghidupkan makhluk-makhluk Yang telah mati? sudah tentu berkuasa! Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Al-Ahqaf: 33)

“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ghafir/al-Mukmin: 57)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini semuanya menjelaskan bahwa menciptakan manusia serta membangkitkan sesudah mati adalah lebih mudah dan lebih ringan daripada menciptakan makhluk-makhluk raksasa in Padahal semuanya itu kecil bagi Allah s.w.t.

- Kaedah kedua:

Beristidlal akan adanya ba‘ts dengan penciptaan manusia pertama kali, oleh karena siapa yang dapat menciptakan manusia pasti mampu mengembalikannya untuk kedua kalinya. Kepastian seperti ini banyak terdapat di dalam al-Quran, seperti firman Allah,

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setitis mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dari yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) sampailah kamu kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” (Al-Hajj: 5).

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha-tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ar-Rum: 27)

Tidakkah manusia itu melihat dan Mengetahui, Bahawa Kami telah menciptakan Dia dari (setitis) air benih? Dalam pada itu (setelah Kami sempurnakan kejadiannya dan tenaga kekuatannya) maka dengan tidak semena-mena menjadilah ia seorang pembantah yang terang jelas bantahannya (mengenai kekuasaan Kami menghidupkan semula orang-orang yang mati), serta ia mengemukakan satu misal perbandingan kepada Kami (tentang kekuasaan itu), dan ia pula lupakan keadaan Kami menciptakannya sambil ia bertanya: "Siapakah Yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah hancur seperti debu?" Katakanlah: "Tulang-tulang yang hancur itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya pada awal mula wujudnya; dan ia Maha mengetahui akan segala keadaan makhluk-makhluk (yang diciptakan-Nya);

(setelah mereka melihat dan memerhatikan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan itu) maka adakah Kami telah lemah dengan ciptaan yang pertama itu (sehingga Kami tidak dapat mengadakannya semula? Tidak! Dan merekapun tidak mengingkari kekuasaan Kami). bahkan mereka berada dalam keadaan keliru dan ragu-ragu tentang ciptaan makhluk-makhluk (hidup semula) dalam bentuk Yang baharu. (Qaaf: 15)

Pada ayat-ayat yang kami kemukakan di atas juga pada ayat-ayat lain yang serupa terdapat teguran yang menggugat orang-orang yang ingkar agar mahu melihat dan merenungi dirinya sendin; dari mana pertama kali ia diciptakan, juga agar merenungi masa-masa yang telah mereka lalui setiap tahapan yang selalu herbeda dengan yang sebelumnya. Maka, yang mampu mengadakan manusia dari tidak ada niscaya Dia tiada berkesulitan mengembalikannya sekali lagi, sebaliknya hal itu lebih mudah dari menciptakannya pertama kali. Perbezaan itu kalau diukur dengan akal dan kebiasaan manusia. Sedangkan menurut Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari yang lain, semuanya mudah bagi-Nya.

- Kaedah ketiga:

Allah menegakkan dalil adanya hari kebangkitan sesudah mati dengan menghidupkan bumi sesudah matinya, seperti yang terdapat dalam ayat, antara lain:

“Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Al-Hajj: 5)

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan, seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Al-A’raf: 57)

“Dan yang menurunkan air dan langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (Az-Zukhruf: 11)

Dalam ayat-ayat terdahulu dan yang sejenisnya Allah menjelaskan bahawasanya menghidupkan sesudah mati adalah sangat mungkin bagi Tuhan Yang Maha Mengatur semua urusan. Bukti kongkritnya selalu dapat anda amati, iaitu dengan melihat tanah yang kering, gersang dan tandus tidak berkehidupan, maka Allah mendatangkan air hujan, sesudah itu ia menjadi hijau dan subur, pepohonan, bunga-bunga serta buah-buahan bertebaran di mana-mana. Maka Yang Maha-kuasa menghidupkan ini akan berkuasa pula menghidupkan kembali jasad-jasad yang telah musnah tak berbekas dan Dia Maha Mengetahui segala ciptaan-Nya.

- Kaedah Keempat:

Metode ini adalah apa yang dikhabarkan dalam al-Qur’an bahawa Allah telah menghidupkan sebahagian orang yang sudah mati di dunia. Ini sudah pasti merupakan tanda kekuasan-Nya yang memaksa orang-orang yang mengingkari untuk kembali mengakui dan membenarkan agama para rasul dan ia akan menambah iman orang-orang mukmin. Di antaranya, Allah berfirman,

“Dan ingatlah, ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman, ‘Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (Al-Baqarah: 72-73)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (al-Baqarah: 243)

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah: 259-260)

Kaedah ini juga yang terjadi melalui tangan Nabi Isa sebagai mukjizat baginya, iaitu menghidupkan orang mati dengan seizin Allah. Tidak diragukan lagi, bahawa dalil-dalil tersebut di atas dengan pasti telah membuktikan akan adanya hari Kebangkitan, karena Yang dapat menghidupkan kembali satu jiwa sesudah matinya pasti Dia mampu menghidupkan semua jiwa. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah,

Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Luqman: 28)

Oleh karena pentingnya keimanan kepada hari Kebangkitan terhadap kehidupan duniawi demi tercapainya hikmah ilahiyah serta adanya orang yang mengingkarinya, maka dalil-dalilnya di dalam al-Quran dijelaskan dengan metode yang bermacam-macam. Apabila keperluan kepada sesuatu sangat diperlukan maka dalilnya lebih ditegaskan sebagai rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.

III. APA YANG ADA SESUDAH KEMATIAN?

Yang ada sesudah kematian adalah pertanyaan dua malaikat, nikmat kubur dan azab kubur.

Al-Qabru adalah kata tunggal dan al-qubur, artinya mengubur mayat.

Khabar dari Rasulullah telah sampai secara mutawatir tentang adanya pertanyaan dua malaikat, nikmat kubur dan azabnya. Kerana itu mengimaninya adalah wajib.

Nikmat dan siksa tersebut adalah berlaku untuk ruh dan jasad sesuai dengan hubungan ruh terhadap jasad dalam kehidupan barzakhiyah dan hubungan ini berbeza dengan hubungan ruh terhadap jasad ketika ada dalam kehidupan dunia. Jadi hukum-hukum kehidupan barzakh ini berlaku untuk ruh, sedangkan jasad mengikutinya, berbeza dengan kehidupan dunia. Berdasarkan hal ini dapat difahami bahawa nikmat dan azab kubur berlaku bagi orang yang berhak menerimanya, baik itu dikubur mahupun tidak, dimakan binatang buas atau terbakar hingga menjadi abu atau tenggelam di laut ataupun yang lainnya. Sedang dalil-dalil untuk itu sangatlah banyak, antara lain:

a) Firman Allah,

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim: 27)

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Bara’ Ibn ‘Azib dari Nabi, beliau bersabda tentang ayat di atas:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh,” Ayat ini turun menjelaskan tentang adzab kubur; maka ditanyakan kepadanya, ‘Siapakah Rabbmu?’ Dia menjawab, ‘Rabb saya adalah Allah, dan nabi saya adalah Muhammad s.a.w. Maka itulah (makna) firman Allah, ‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat’.” (HR. Muslim 4/2201)

Jadi penafsiran ayat oleh hadis tersebut menunjukkan adanya pertanyaan di dalam kubur. Hal ini dijelaskan oleh dalil-dalil berikutnya.

b) Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Qatadah, dari Anas bin Malik, ia berkata, Nabi Allah s.a.w. bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba jika telah diletakkan di dalam kuburnya dan ditinggal pergi oleh pengantarnya, sesungguhnya dia itu mendengar suara ketukan sandalnya’. Beliau bersabda, ‘Datang kepadanya dua malaikat, lalu mereka mendudukkannya dan menanyainya, ‘Apa yang engkau katakan tentang orang ini?’ Beliau bersabda, ‘Ada pun orang mukmin maka dia akan menjawab, ‘Saya bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan rasul-Nya.’ Beliau bersabda, ‘Maka dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempat dudukmu dari neraka, Allah telah menggantinya untukmu ternpat duduk dari syurga.’ Nabi Allah bersabda, ‘Maka ia melihat keduanya.’ Qatadah berkata, ‘Diberitakan kepada kami bahawa di dalarn kuburnya akan diperluas untuknya 70 hasta dan dipenuhi atasnya kenikmatan yang segar sampai pada hari mereka dibangkitkan.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2200, lihat Shahih al-Bukhari 11/ 123).

c) Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dan Ibnu Abbas r.a, ia berkata,

“Rasulullah s.a.w. berjalan melewati dua kuburan, maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan tidaklah mereka disiksa karena perkara besar,’ kemudian beliau bersabda, ‘Benar, adapun yang satu maka ia telah melakukan adu domba, adapun yang lainnya kerana dia tidak bersembunyi semasa membuang air kecil dan tidak membersihkan diri dari percikan-percikan kencingnya dengan betul.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Kemudian beliau mengambil batang kayu segar dan dibelah menjadi dua, kemudian rnenancapkan masing-masing di atas kuburan tadi kemudian bersabda, ‘Mudah-mudahan keduanya diringankan (azabnya) selama (dua batang kayu tadi) tidak kering’.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 11/134)

d) Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, ‘Rasulullah berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dan adzab kubur, dan adzab neraka, dan danifitnah kehidu pan dan kematian, serta dan fitnah Dajjal.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 11/24, dan lihat Muslim 4/2200)

Dalil-dalil ini dan yang seumpamanya menunjukkan, orang yang mati akan diuji di dalam kubumya, maka barangsiapa yang ditetapkan imannya oleh Allah dan menjawab dengan benar maka diluaskan baginya di dalam kubumya serta diberi sebagian dari kenikmatan akhirat. Dan siapa yang menyimpang dari kebenaran dan sesat di dalam hidupnya, maka dia tidak akan boleh/mampu menjawab dengan benar pertanyaan kedua malaikat tersebut, sehingga ia dipukuli dengan palu dan besi dan dihimpit di dalam kubumya serta menerima siksaan sesuai dengan dosa-dosanya sampai datang Hari Kiamat atau sampai pada waktu tertentu (terbatas).

Jadi adzab kubur itu ada dua macam:

Pertama:

Terus menerus sampai Hari Kiamat iaitu untuk orang kafir dan munafik dan sebagian ahli maksiat, seperti pemberitaan Allah tentang keluarga Firaun:

“Kepada mereka ditampakkan Neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat dikatakan kepada malaikat, ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras’.” (Ghafir/al-Mukmin 40: 46)

Kedua:

Sementara, berlaku untuk waktu yang terbatas kemudian berhenti. Iaitu siksaan untuk sebagian ahli maksiat yang ringan kejahatannya. Ia disiksa sesuai dengan kejahatannya kemudian diringankan siksaan atasnya atau dihentikan sama sekali kerana maksiatnya tidak berhak menerima azab kecuali sebatas itu, atau kerana adanya sebagian yang boleh melebur dosa sesudah kematiannya seperti doa anaknya yang soleh atau sedekah jariyah yang ditinggalkannya di dunia atau ilmunya yang dimarifaatkan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

IV. KIAMAT DAN TANDA-TANDANYA

Kiamat adalah tibanya saat yang disebutkan dalam firman Allah s.w.t. seperti:

“Dan pada hari terjadinya Kiamat.” (Ghafir 40: 46 dan al-Jatsiyah: 27)

Kiamat disebutkan dalam al-Qur’an dengan beberapa nama, antara lain: Al-Qari’ah, al-Ghasyiyah, ath-Thammah, al-Waqi’ah, al-Haqqah, ash-Shakhkhah, Yaumul-Hisab dan Yaumud Din.

Dalil-dalil kepastian datangnya banyak sekali, antara lain:

a) Firman Allah,

“Dan sesungguhnya Hari Kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahawasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj 22: 7)

b) Firman Allah,

“Sesungguhnya Hari Kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (Ghafir/Mukmin 40: 59)

c) Firman Allah,

“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan.” (Al-Qamar: 1)

d) Sabda Rasulullah s.a.w.,

“Aku diutus, sedangkan aku dan Hari Kiamat seperti ini’, beliau membandingkan antara jari telunjuk dan jari tengah.” (Hadis Riwayat Al-Bukhari 6/206, Muslim 11/592)

Sekalipun ada kepastian akan terjadinya dan kewajiban mengimaninya, tetapi Allah merahsiakan bila Kiamat terjadi dan tidak seorang pun mengetahui waktunya, akan tetapi Allah memberitahukan tanda-tandanya yang menunjukkan dekatnya kejadian Kiamat.

Dalil-dalil yang menunjukkan hanya Allah saja yang mengetahui Hari Kiamat sangat banyak, di antaranya ialah:

a) Firman Allah,

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba." Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al-A’raaf 7: 187)

Pertama: Dalil-dalil tentang Kekhususan Ilmu Allah Mengenai Kiamat

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Kiamat” (Luqman 31: 34)

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah." Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya” (al-Ahzaab 33: 63)

Kedua: Tanda-tanda Kiamat

Ketika hikmah Allah menghendaki untuk menyembunyikan waktu terjadinya, Dia memberitahukan kepada Nabi-Nya s.a.w, tanda-tanda kedatangannya, kemudian beliau memberitahukan kepada kita tanda-tanda yang banyak sekali yang munculnya merupakan pertanda dekatnya Hari Kiamat. Tanda-tanda itu ada dua: alamat (tanda) shughra menunjukkan dekatnya Kiamat, sedangkan alamat Kubra menunjukkan bahwa ia sudah di ambang pintu.

Di antara tanda-tanda shughra (kecil) yaitu:

a) Malaikat Jibril ketika bertanya bila Hari Kiamat, beliau menjawab,

“Yang ditanya tentang Hari Kiamat tidak lebih mengetahui dari yang bertanya, tetapi saya akan memberitahukanmu tentang tanda-tandanya, jika budak wanita telah melahirkan tuannya, jika para penggembala unta berlumba-lumba dalam mendirikan bangunan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 1/20 dan lihat Muslim 1/39)

b) Berperangnya orang muslim melawan orang Yahudi dan kemenangan orang-orang muslim atas mereka. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahawasanya Rasulullah bersabda,

“Tidak akan terjadi Kiamat sebelum orang Islam memerangi orang Yahudi. Maka orang Islam membunuh mereka sampai orang Yahudi bersembunyi di belakang batu dan pohon; maka batu dan pohon itu berkata, ‘Ya Muslim, wahai hamba Allah, inilah orang Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah,’ kecuali pohon gharqad, kerana sesungguhnya ia adalah pohon Yahudi.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2239, dan lihat al-Bukhari IV/51).

Tanda-tanda shughra (kecil) yang diberitakan oleh Rasulullah s.a.w., sangat panjang pembahasannya berikut dalil-dalilnya, seperti pendeknya waktu, berkurangnya amal, munculnya berbagai fitnah, banyaknya pembunuhan, pelacuran, kefasikan dan lain-lain.

Tanda-tanda kubra (besar)

a) Keluarnya Dajjal. Rasulullah s.a.w., telah memberitahukan kemunculannya dengan hadis yang banyak jumlahnya sehingga mencapai mutawatir. Para nabi telah memperingatkan umat dan kaumnya daripadanya. Sedangkan Rasulullah s.a.w., menyebutnya sebagai fitnah terbesar yang terjadi semenjak penciptaan Nabi Adam hingga Hari Kiamat. Dan di antara doa beliau adalah meminta perlindungan-Nya dari fitnah Dajjal dan memerintahkan umatnya untuk berdoa seperti itu.

Di antara hadits-hadits yang memperingatkan darinya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik r.a., bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Tidak ada seorang nabi pun yang diutus melainkan ia memperingatkan umatnya dari yang buta sebelah dan pendusta. Ingatlah, dia itu buta sebelah matanya. Dan sesungguhnya Rabbmu (Allah) tidak buta sebelah mata-Nya. Dan di antara kedua matanya tertulis ‘kafir’.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 9/75-76, lihat Muslim 4/2248)

b) Turunnya Nabi Isa di atas menara putih di sebelah timur Damaskus, kemudian beliau membunuh Dajjal dan mengajak kepada Islam serta memberlakukan hukum Islam, menghancurkan salib, membunuh babi dan menghapuskan jizyah.

Dalil-dalil tentang hal ini banyak sekali, di antaranya ialah hadits al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w., bersabda,

“Tidak terjadi Kiamat sebelum turun di tengah-tengah kalian Isa bin Maryam sebagai hakim yang adil, dia menghancurkan salib, membunuh babi, menghapuskan jizyah dan melimpahlah harta sampai tidak seorang pun yang mahu menerima.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 3/178, dan lihat Muslim 1/136).

c) Munculnya matahari dar barat. Ini adalah pertanda sangat dekatnya Hari Kiamat dan permulaan bergolaknya hukum alam yang normal, kerana dahsyatnya pengaruh pertanda ini dan telah putusnya harapan sehingga ketika orang-orang melihat tanda ini mereka merasa takut dan resah kemudian semuanya beriman, akan tetapi imannya tidak ada ertinya lagi kerana tidak diterima, kerana sebelumnya mereka tidak mahu beriman. Sebagaimana firman Allah,

Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)." (al-An’am 6: 158)

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahawa Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Tidak terjadi Kiamat sebelum matahari terbit dar barat; jika sudah terbit dari barat maka manusia semuanya beriman. Pada hari itu imannya orang yang sebelumnya tidak beriman atau tidak berbuat baik dalam masa imannya, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya.” (HR. Muslim 1/137, dan lihat alBukhari 8/ 132)

Dan masih banyak lagi tanda-tanda yang tidak kami sebutkan, seperti munculnya al-Mahdi, binatang ajaib (Dabbah), asap dan api di negeri Hijaz dan sebagainya. Kejadian-kejadian ini saling berdekatan dan berakhir dengan hancurnya dunia serta matinya semua makhluk. Allah berfirman,

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (az-Zumar 39: 68)

Rasulullah s.a.w. ditanya tentang shur, maka beliau menjawab iaitu tanduk yang ditiup (lihat Musnad Imam Ahmad 11/ 162 dan 192). Yang meniup adalah Israfil lalu matilah makhluk yang ada di langit dan di bumi kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah. Wallahu a’lam.

Bersambung…