__________________________________________________________________________________

| Nawawi | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Galeri Buku | Galeri MP3 | U-VideOo |
__________________________________________________________________________________

Wednesday, November 12, 2008

083 - (Bahagian 22) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 22) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

44 - Barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah atau membencinya kerana suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan (mencanangkan) keburukan-keburukannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehinga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela) mereka. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 40)

Penjelasan/Syarah:

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan (kesukaran).” (at-Taubah, 9: 117)

Dan firman-Nya pula:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman Iebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr, 59: 10)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Janganlah kamu mencela para sahabatku, janganlah kamu mencela para sahabatku. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kamu berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya (pahalanya) tidak akan mengimbangi/menyamai (pahala infak) satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula separuhnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari hadis no. 3673 dan Muslim hadis no. 2541 dari hadis Abu Sa’id)

Apabila kamu telah mengetahui hal itu dan menjadi jelas bagimu penyimpangan dan kesesatan yang ada pada orang-orang Rafidhah (salah satu firqah Syi’ah), di mana mereka telah mencela dan melaknat para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan hati-hati mereka telah dipenuhi dengan kedengkian terhadap mereka (para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum), dan mereka berpendapat bahawa khilafah dan kepemimpinan itu tidak ada melainkan pada keluarga Ali.

Pernah ada seorang laki-laki menyebutkan keburukan Aisyah (dengan menuduhnya berzina) di hadapan Utbah bin Abdullah al-Hamdani al-Qadhi, maka ia berkata: “Wahai ghulam (panggilan untuk anak muda) penggallah lehernya,” maka orang-orang ‘Alawiyyun (keturunan Ali) berkata kepadanya: “Orang laki-laki ini termasuk golongan kami (dari Syi’ah).” Lalu ia (Utbah bin Abdullah aI-Hamdani) berkata:

“Aku berlindung kepada AlIah, orang ini telah menikam kehormatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah berfirman:

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (syurga).” (Surah an-Nuur, 24: 26)

Apabila Aisyah adalah wanita yang keji maka Nabi adalah laki-laki yang keji. Maka ia (orang yang menuduh Aisyah dengan kekejian) adalah orang kafir, maka penggallah lehernya,” lalu merekapun memenggal lehernya. (al-Lalikaai: 2402).

Imam asy-Syafi’i berkata: “Tidaklah aku melihat dalam perkara hawa nafsu, suatu kaum yang Iebih sering bersaksi palsu daripada orang-orang Rafidhah.” (al-Lalikaai: 2811)

Diriwayatkan dari asy-Sya’bi, dia berkata: “Wahai Malik (maksudnya Malik bin Mighwal al-Kufi, Abu Abdillah, tsiqatun (yang terpercaya) tsabtun (kuat), jamaah ulama meriwayatkan darinya), sekiranya aku menginginkan agar mereka (orang-orang Rafidhah memberikan budak-budak mereka padaku dan memenuhi rumahku dengan emas agar supaya aku berdusta untuk mereka atas Ali, niscaya mereka melakukannya. Akan tetapi demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku tidak akan berdusta atasnya selamanya. Wahai Malik, sesungguhnya aku telah mempelajari perkara-perkara hawa nafsu semuanya, namun aku tidak melihat suatu kaum yang mana mereka lebih dungu dan khasyabiyyah (salah satu kelompok syiah). Seandainya mereka tergolong binatang, maka sungguh mereka adalah keldai-keldai. Dan seandainya mereka tergolong binatang burung, maka sungguh mereka itu burung-burung rakham (sejenis burung yang dikenali memiliki sifat ingkar janji atau sifat kotor). (An-Nihayah karya lbnu al-Atsir: (2/212)).”

Dan ia berkata: “Aku peringatkan kamu dari hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan, dan seburuk-seburuknya adalah orang-orang Rafidhah. Hal itu kerana ada di antara mereka orang-orang yahudi yang mencela agama Islam agar kesesatan mereka menjadi hidup, sebagaimana Bulis bin Syaul (atau Syawudz) mencela seorang raja (bagi orang-orang yahudi atau nasrani). Mereka tidaklah memeluk Islam kerana rasa cinta atau takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi kerana kebencian dan celaan mereka kepada orang-orang muslim. Sehingga Ali bin Abi Thalib membakar mereka dengan api dan mengasingkan mereka ke beberapa negeri. Di antaranya; Abdullah bin Saba’ diasingkan ke negeri Sabath, Abdullah bin Syabab dan Abu al-Kurusy serta anaknya diasingkan ke negeri Jazat. ltu kerana bahayanya orang-orang Rafidhah adalah (sama seperti) bahayanya orang-orang yahudi (bagi kaum muslimin).

Orang-orang Yahudi berkata: “Kerajaan itu tidak layak kecuali bagi keluarga Dawud. Dan orang-orang Rafidhah mengatakan: “Kepemimpinan itu tidak layak kecuali bagi keluarga Ali.”

Orang-orang Yahudi berkata: “Tidak ada jihad fii sabilillah (di jalan Allah) sehingga al-Masih ad-Dajjal keluar atau Nabi Isa turun dari langit.” Manakala orang-orang Rafidhah mengatakan: “Tidak ada jihad sehingga imam Mahdi keluar kemudian ada yang mengumandangkan (jihad) dari langit.”

Orang-orang Yahudi melewatkan/melambatkan solat Maghrib sehingga bintang-bintang menjadi jelas cahayanya. Demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Padahal Rasulullah bersabda:

“Umatku sentiasa dalam keadaan fitrah selagi mereka tidak melewatkan solat Maghrib hingga bintang-bintang menjadi terang cahayanya.” (Sahih, lihat Al-Irwa, 917)

Orang-orang Yahudi sedikit berpaling dari arah kiblat. Demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi memanjangkan/melabuhkan pakaian (sehingga di bawah mata kaki). Demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang memanjangkan pakaiannya (di bawah mata kaki), lalu beliau menjadikannya berpakaian di atas mata kaki.

Orang-orang Yahudi mengubah kitab Taurat. Demikian pula orang-orang Rafidhah, mereka telah mengubah al-Qur’an. Orang-orang Yahudi berpendapat bahawa wanita tidak memiliki masa ‘lddah. Begitulah juga dengan orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi membenci malaikat Jibril dan mengatakan: “Dia (Jibril) adalah musuh kami.” Demikian pula sebahagian orang Rafidhah, mereka mengatakan: “Jibril keliru/tersalah dalam menyampaikan wahyu kepada Muhammad.”

Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih utama berbanding orang-orang Rafidhah dengan dua perkara: (iaitu) Orang-orang Yahudi ditanya: “Siapakah orang terbaik dari pemeluk agama kalian?” Mereka menjawab: “Para sahabat Nabi Musa.” Dan orang-orang Nashrani ditanya: “Siapakah orang terbaik dari pemeluk agama kalian?” Mereka jawab: “Para sahabat Nabi ‘isa.”

Sementara orang-orang Rafidhah ditanya: “Siapakah seburuk-buruk orang dari pemeluk agama kalian?” Mereka jawab: “Para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”. Mereka (orang-orang Rafidhah) diperintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka (para sahabat Nabi) tetapi mereka bertindak sebaliknya iaitu dengan mencelanya. Maka pedang (wajib) dihunuskan kepada mereka sehingga ke hari kiamat. Kaki mereka tidak akan kukuh dan panji mereka tidak akan tertegak serta kalimat (persatuan) mereka tidak akan terwujud. Dakwah mereka tidak sah, dan persatuan mereka bercerai-berai. Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, maka AlIah akan selalu memadamkannya. (al-Laalikaai (4/1461))

Muhammad bin Shubaih as-Sammak berkata: “Aku telah mengetahui bahawa orang-orang Yahudi tidak mencela para sahabat Nabi Musa, dan orang-orang Nasrani tidak mencela para sahabat Nabi ‘Isa. Maka bagaimana dengan keadaanmu wahai orang bodoh, kàmu mencela para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam? Aku telah tahu dari (pintu) mana kamu datang? Dosamu tidak menyibukkan dirimu. Sekiranya kamu disibukkan oleh dosamu, niscaya kamu akan merasa takut kepada Rabbmu. Sesungguhnya termasuk dari dosamu adalah kamu lalai dari orang-orang jahat, celakalah kamu. Bagaimana kamu tidak Ialai dari (membicarakan kesalahan) orang-orang baik (yakni para sahabat)? Sekiranya kamu termasuk orang-orang baik niscaya kamu tidak akan mencela orang-orang yang melakukan, bahkan kamu berharap bagi mereka rahmat dari Dzat yang paling Maha Penyayang. Akan tetapi, (memang) kamu termasuk orang-orang buruk, maka dari itu kamu mencela para syuhada’ (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang soleh. Wahai pencela para sahabat Nabi, sekiranya kamu tidur di malam harimu, dan berbuka puasa di siang harimu, maka itu lebih baik bagimu daripada kamu menghidupkan malam harimu dengan qiyamul lail dan siang hariimu dengan puasa sedangkan kamu mencela orang-orang baik (para sahabat Nabi). Dan bergembiralah kamu dengan sesuatu yang tiada kegembiraan di dalamnya, jika kamu tidak bertaubat dari apa yang kamu lihat dan dengar. CelakaIah kamu, mereka (para sahabat Nabi) telah mendapat kemuliaan dalam perang Badr, dan mereka (juga) telah mendapat kemuliaan dalam perang Uhud, sebab mereka semuanya telah mendapat ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka disesatkan oleh syaitan. Disebabkan sebahagian kesalahan yang telah mereka lakukan (di masa Iampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.” (Ali ‘Imran, 3: 155)

Kami berhujjah untuk Nabi Ibrahim Khalilur Rahman (kekasih Allah), dia berkata:

“Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang menderhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (Surah Ibrahim, 14: 36)

Dia telah menawarkan ampunan bagi orang yang derhaka. Sekiranya dia mengatakan, “Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan adzab-Mu adalah adzab yang pedih”, maka bererti dia telah menampakkan sifat balas dendam. Maka dengan (perbuatan) siapakah kamu berhujjah (untuk perbuatanrmu) wahai orang bodoh. Maka tiada lain kamu berhujjah hanyalah dengan (perbuatan) orang-orang bodoh. Sungguh seburuk-buruk khalaf (generasi yang datang setelah generasi salaf) adalah orang-orang khalaf yang mencela orang-orang salaf (yang soleh). Sesungguhnya seseorang dari generasi salafus soleh itu lebih baik dari seribu orang dari generasi khalaf. Mereka (para sahabat Nabi) telah mendapat ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 155)

Maka apa yang akan kamu katakan kepada orang yang telah diampuni oleh Allah?” (all-Laalikaai, 2819)

Maka, hendaklah orang-orang yang menyeru kepada pendekatan di antara sunnah dan syi’ah (sebagaimana mereka sangka) bertaqwa kepada Allah. Perumpamaan mereka seperti orang yang dijelaskan oleh Allah dalam kitab-Nya:

“Dan mereka mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (Surah an-Nisa’, 4: 150)

Dan di sana hanya ada satu jalan dari satu golongan, iaitu golongan yang selamat, yang dimenangkan dan tampil (dengan kebenaran) hingga hari kiamat. Maka atas dasar apakah mereka (syi’ah dan sunnah) dapat bertemu? Mereka adalah (seperti yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala):

“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafr).” (Surah an-Nisa’, 4: 143)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberikan perumpamaan untuk perkataan mereka (sebagaimana dalam hadisnya):

“Perumpamaan seorang munafiq itu seperti seekor domba yang pulang pergi tidak keruan antara dua domba. Terkadang ia pergi ke domba ini dan terkadang pula ia pergi ke domba itu. Ia tidak tahu domba mana yang akan Ia ikuti.” (Diriwayatkan oleh Muslim (hadis no. 2784))

Barangsiapa yang mengehendaki tambahan penjelasan dalam masalah ini, dan ingin mengetahui bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, maka silakan merujuk kitab Mas’alatut Taqrib baina Ahlis Sunnati wasy Syi’ati karya Dr. Nashir al-Qifari. Ia merupakan sebuah kitab yang sangat besar faedahnya dalam persoalan ini.

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 127-129. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

082 - (Bahagian 21) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 21) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

41 - (Hukuman) Rejam adalah hukuman bagi sesiapa yang berzina sedangkan dia telah menikah, bilamana dia mengaku atau terdapat bukti atas perbuatannya.

42 - Rasulullah telah melaksanakan hukuman rejam. (Lihat Shahih al-Bukhari hadis no. 6813, 6814, dan Shahih Muslim hadis no. 1690, 1692)

43 - Demikian juga para imam (pemimpin) yang benar telah melaksanakan hukuman rejam. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 40)

Penjelasan/Syarah:

Dalil-dalilnya banyak. (Di antaranya) dari lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, berkata: Telah berkata Umar bin Khaththab sedang dia dalam keadaan duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran, dan Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadanya. Dan di antara yang diturunkan kepadanya adalah ayat berkenaan rejam. Kita telah membacanya, menyedarinya dan memahaminya. Rasulullah telah melaksanakan hukuman rejam, dan kita juga melaksanakan hukuman rejam sesudah (wafat)nya. Aku takut jika manusia telah melalui waktu yang lama/jauh (dari zaman kenabian), akan ada seseorang yang mengatakan: “Kami tidak menemui ayat rejam di dalam Kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat kerana meninggalkan satu kewajiban yang telah Allah turunkan. Sesungguhnya ayat rejam di dalam Kitab Allah merupakan hak bagi sesiapa yang berzina, bila dia telah menikah, dari kaum lelaki atau pun perempuan, bila telah ada bukti atau hamil atau dengan pengakuan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, hadis no. 7323 dan Muslim, hadis no. 1691, dan lafaznya dari Muslim)

Dan di dalam Sahih al-Bukhari dari Ali (bin Abi Thalib), bahawa telah merejam seorang wanita (yang berzina pada hari Juma’at, dan dia berkata: “Aku telah merejamnya berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Fathul Baari (hadis no. 6812) dan dapat dilihat dalam lrwa aI-Ghalil (7/352))

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 127-129. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

081 - (Bahagian 20) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 20) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

40 – Barangsiapa yang menemui Allah dalam keadaan kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 40)

Penjelasan/Syarah:

Dalilnya adalah Firman Allah :

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya syurga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Surah al-Ma’idah, 5: 72)

Dan firman-Nya pula:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia.” (Surah an-Nisa, 4: 116)

Lihat pula at-Ta’liq ‘ala ath-Thahawiyyah hal. 41.

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 127-128. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

Tuesday, November 4, 2008

080 - (Bahagian 19) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 19) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

38 - Barangsiapa berjumpa dengan Allah di mana hukuman telah dilaksanakan hukuman atas dosanya di dunia, maka itu adalah kaffarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

39 – Barangsiapa berjumpa Allah dengan keadaan yang terus-menerus melakukan dosa tanpa bertaubat dari dosanya, yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah kepada Allah. Jika dia berkehendak, Dia menyiksanya. Dan jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 38 & 39)

Penjelasan/Syarah:

Hadisnya adalah sahih iaitu sebagaimana yang dijelaskan dari Khuzaimah bin Tsabit dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“Barangsiapa melakukan dosa dan kemudian dilaksanakan hukuman kepadnaya di atas sebab dosa tersebut kepadanya, maka hukuman itu adalah sebagai kaffarahnya (penghapus dosanya).” (Dikeluarkan oleh Ahmad (5/215), dan al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menghasankan isnadnya di dalam Fathul Baari (1/86). Lihat juga Silsilah Ahaadis ash-Shahihah (1755))

Dan di dalam hadis dari Ubadah bin Shamit secara marfu’,

“Berbai’atlah kepadaku untuk tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kamu, tidak akan berdusta yang kamu ada-adakan di antara tangan dan kaki kamu dan tidak akan bermaksiat dalam urusan yang baik. Maka barangsiapa di antara kamu yang menyempurnakan (bai’at ini), maka pahalanya ditanggung Allah. Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari (larangan) itu, lalu dia dihukum (dengan had) di dunia, maka itu merupakan penebus dosa. Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari itu, lalu Allah menutupinya, maka dia terserah kepada Allah. Jika Dia (Allah) berkehendak, Dia menyiksanya. Dan jika Dia berkehendak, Dia memaafkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/81). Dan banyak lagi selainnya. Dan diriwayatkan oleh Muslim, hadis no. 1709, Kitab al-Hudud, bab 10)

Dan Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu, bagi sesiapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’, 4: 116)

Dan lihat pula at-Ta’liq ‘Ala ath-Thahawiyyah, hal. 45 dan syarahnya hal. 37 dan yang setelahnya.

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 123-124. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

079 - (Bahagian 18) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 18) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

37 - Barangsiapa berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk ke dalam neraka sedangkan dia dalam keadaan bertaubat dan tidak terus-menerus di dalam dosa, maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 37)

Penjelasan/Syarah:

Ini adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah asy-Syuura, 42: 25)

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 123. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

078 - (Bahagian 17) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 17) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

36 - Kami tidak menentukan sama ada (masuk) syurga atau neraka bagi siapapun dari ahli kiblat (kaum muslimin) disebabkan suatu amalan yang telah dilakukannya. Kami mengharap (kebaikan) bagi orang yang soleh dan bimbang akan keburukan darinya. Kami (juga) bimbang (keburukan) akan menimpa orang yang tidak baik lagi berdosa, dan mengharapkan rahmat Allah baginya. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 36)

Penjelasan/Syarah:

Iaitu kecuali bagi orang yang telah dijelaskan melalui al-Kitab atau as-Sunnah akan masuk syurga atau neraka, sebagaimana contohnya sepuluh orang sahabat yang mendapat khabar gembira masuk syurga, dan selain mereka. (Lihat di dalam at-Ta’liq ‘ala ath-Thahawiyyah, hal. 41)

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 122. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

077 - (Bahagian 16) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 16) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

35 - Memerangi para pencuri dan orang-orang khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada penguasa) adalah boleh, (iaitu) apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang. Maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi, dia tidak boleh mengejar dan mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak boleh bagi sesiapa pun kecuali imam atau para pemimpin muslimin, kerana hanya dibolehkan untuk mempertahankan jiwa dan hartanya di tempat tinggalnya, dan berniat dengan sedaya upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika dia (pencuri/khawarij) mati di tangannya di dalam peperangan mempertahankan dirinya, maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari rahmat-Nya). Dan jika dia (yang menjadi mangsa) terbunuh di dalam keadaan tersebut di mana ketika dia sedang mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap dia mati syahid sebagaimana di dalam hadis-hadis. Dan seluruh atsar di dalam masalah ini memerintahkan agar memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika dia menyerah atau terluka. Dan jika dia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh melaksanakan hukuman padanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu Ia menghukuminya. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 35)

Penjelasan/Syarah:

“Dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Telah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika datang seseorang yang ingin mengambil hartaku?” BeIiau menjawab: “Jangan kamu berikan hartamu kepadanya.” Dia bertanya: “Apa pendapatmu jika dia memerangiku?” Beliau menjawab: “Perangilah dia.” Ia bertanya: “Apa pendapatmu jika ia membunuhku?” BeIiau menjawab: “Maka kamu mati syahid.” Ia bertanya: “Apa pendapatmu jika aku membunuhnya?” Beliau menjawab: “Dia masuk ke dalam neraka.” (Dikeluarkan oleh Muslim (hadis no. 140) dan dikeluarkan oleh penyusun buku ini (Imam Ahmad) di dalam Musnadnya (2/339))

Dan di dalam sebuah hadis disebutkan:

“Barangsiapa yang terbunuh kerana (mempertahankan) hartanya, maka dia syahid. Barangsiapa yang terbunuh kerana (mempertahankan) jiwanya maka dia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh kerana (mempertahankan) agamanya maka dia syahid.” (Shahih. Lihat al-Irwa’ al-Ghalil, (708))

Dan dalam hadis, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Apabila dua orang muslim bertelagah dengan (menghunus/menggunakan) kedua pedangnya, maka pembunuh dan yang terbunuh masuk ke dalam neraka.” Maka beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, ini (balasan) pembunuh, maka bagaimanakah dengan yang terbunuh?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya ia (yang terbunuh) telah bersungguh-sungguh untuk membunuh saudaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (31) dan Muslim (2888), keduanya dari hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu)

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 119-121. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

Saturday, November 1, 2008

076 - (Bahagian 15) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 15) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

33 - Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dan para pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kepimpinan baginya dengan cara apapun, sama ada dengan redha atau dengan kemenangan (dalam perperangan), maka sesungguhnya orang tersebut telah memecah-belah kesatuan kaum musilmin dan menyelisihi pesanan-pesanan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan apabila ia mati dalam keádaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah.

34 - Tidak halal memerangi penguasa (pemerintah) dan keluar dari ketaatan kepadanya disebabkan sesuatu yang perkara. Barangsiapa yang melakukan hal yang seperti itu maka dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang bukan di atas Sunnah dan jalan (yang lurus). (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 33 & 34)

Penjelasan/Syarah:

Persoalan wajibnya taat di dalam kesatuan kaum muslimin bersama pemimpinnya adalah berdasarkan hadis berikut:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah dia bersabar atas sebab tersebut. Kerana barangsiapa yang meninggalkan jamaah (kesatuan) muslimin kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 7054) dan Muslim (hadis no. 1849). Kedua-duanya dari hadis lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)

Hanbal bin Ishaq berkata:

“Di dalam pemerintahan al-Watsiq, para ahli fiqh berkumpul pada Abu Abdillah (imam Ahmad) maka mereka berkata: “Wahai Abu Abdillah, perkara ini telah menjadi besar dan tersebar, iaitu munculnya pendapat bahawa al-Qur’an itu makhluk dan selainnya”. Maka Abu Abdillah berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu inginkan?” Mereka menjawab: “Kami ingin bermusyawarah denganmu bahawa kami tidak redha dengan kepemimpinan dan kekuasaannya”. Maka Abu Abdillah berhujjah dengan mereka untuk seketika dan berkata kepada mereka: “Wajib bagi kamu untuk mengingkarinya di dalam hati-hati kamu, jangan melepaskan ketaatan, jangan memecah-belah kesatuan kaum muslimin, jangan menumpahkan darah-darah kamu dan darah-darah kaum muslimin bersama kamu. Lihatlah (fikirkan) akibat perbuatan kamu nanti dan bersabarlah sehingga orang yang baik beristirehat atau diistirehatkan dari yang jahat”. Setelah itu mereka pun bersurai. Kemudian aku dan bapakku menemui Abu Abdillah setelah mereka pergi. Lalu bapa-ku berkata kepada Abu Abdillah, “Kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan aku tidak suka bagi siapapun melakukan perkara tersebut”. Dan bapa-ku berkata, “Wahai Abu Abdillah, apakah perkara ini menurutmu benar?” Beliau menjawab, “Tidak benar, perkara ini bertentangan dengan atsar-atsar yang mana kita diperintahkan supaya bersabar di dalamnya”. (AI-Masa’iI wa ar-Rasa’il aI-Marwiyyah ‘an Ahmad fii Aqiidah (2/4))

Adalah suatu yang tidak halal memeranginya dan keluar dari ketaatan kepadanya kecuali jika nampak (dilihat) padanya kekufuran yang nyata (setelah hujjah yang jelas ditegakkan mengikut kaedahnya). Maka wajib bagi Ahill Halli wal ‘Aqdi untuk mencabut ketaatan dan mengangkat pemimpin yang lebih baik. Akan tetapi, mestilah dengan syarat memiliki kemampuan dan tidak menimbulkan kerosakan yang lebih besar dan fitnah yang lebih banyak.

Imam lbnu Abil ‘Izzi al-Hanafi berkata: “Ada pun perintah meletakkan kesetiaan di atas ketaatan kepada mereka (para penguasa) walaupun mereka melakukan kezaliman adalah kerana perbuatan keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerosakan-kerosakan yang berlipat kali ganda berbanding dengan kezaliman yang telah mereka lakukan. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka akan menghapuskan keburukan-keburukan dan akan melipat gandakan pahala. Kerana Allah tidaklah memberikan kekuasaan kepada mereka melainkan disebabkan perbuatan-perbuatan kita yang mengarahkan kepada keburukan, sedangkan balasan itu akan sentiasa bersesuaian dengan jenis sesuatu perbuatan. Maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh di dalam beristighfar dan taubat serta memperbaiki amalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya):

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tan ganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dan sebagian kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syuura, 42: 30)

Dan firman Allah (maksudnya),

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr) kamu berkata: “Dan mengapakah terjadinya (kekalahan) ini?” katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.” (Ali ‘lmran, 3: 165)

Dan firman-Nya pula:

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’aam, 6: 129)

Syeikh al-‘Allamah al-Albani berkata: “Aku berkata, “Di dalam hal ini terdapat penjelasan tentang jalan kebebasan dan kezaliman para penguasa yang mana mereka itu dari keturunan kita dan berbicara dengan bahasa kita. Iaitu, hendaklah kaum muslimin bertaubat kepada Rabb mereka dan memperbaiki aqidah mereka dan mendidik diri-diri mereka dan keluarga mereka di atas Islam yang benar di dalam rangka mewujudkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d, 13: 11)

Abul Harits ash-Shaaigh berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah berkaitan suatu perkara yang terjadi di Baghdad, dan suatu kaum yang berhasrat untuk keluar (dari ketaatan kepada penguasa). Maka aku katakan, “Wahai Abu Abdillah apa yang kamu katakan tentang keluar bersama mereka?” Maka Ia mengingkari perkara tersebut dari mereka lalu mengatakan:

“Maha Suci Allah, jagalah darah-darah, jagalah darah-darah. Aku tidak berpendapat demikian dan aku tidak memerintahkannya. Bersabar di atas keadaan yang kita berada padanya itu lebih baik daripada fitnah yang akan ditumpahkannya darah-darah dan dihalalkannya harta-harta serta dilanggarnya keharaman-keharaman. Tidakkah kamu mengetahui suatu keadaan yang manusia berada di dalamnya, iaitu zaman fitnah”. Maka aku katakan: “Dan di zaman ini bukankah manusia berada di dalam fitnah, wahai Abu Abdillah?” maka beliau menjawab: “Walaupun hakikatnya begitu, akan tetapi itu adalah fitnah bagi orang-orang yang khusus (tertentu). Apabila terjadi pengangkatan pedang maka fitnah akan merata dan jalan-jalan akan terputus. Bersabar di atas keadaan demikian dengan keselamatan agamamu itu lebih baik bagi dirimu”. Dan aku melihatnya (Abu AbdilIah) mengingkari keluar dari ketaatan kepada para pemimpin dan beliau mengatakan: “Jagalah darah-darah. Aku tidak berpendapat demikian (bolehnya keluar dari ketaatan terhadap pemimpin) dan aku tidak memerintahkannya”.” (Al-Masaa’il al-Marwiyyah ‘an Ahmad fii ‘Aqiidah (2/4). Lihat At-Ta’liq ‘ala ath-Thahaawiyyah hal. 47)

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 113-117. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)