Wednesday, November 12, 2008

083 - (Bahagian 22) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

(Bahagian 22) - Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Menurut Imam Ahmad

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):

Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,

44 - Barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah atau membencinya kerana suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan (mencanangkan) keburukan-keburukannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehinga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela) mereka. (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 40)

Penjelasan/Syarah:

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan (kesukaran).” (at-Taubah, 9: 117)

Dan firman-Nya pula:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman Iebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr, 59: 10)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Janganlah kamu mencela para sahabatku, janganlah kamu mencela para sahabatku. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kamu berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya (pahalanya) tidak akan mengimbangi/menyamai (pahala infak) satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula separuhnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari hadis no. 3673 dan Muslim hadis no. 2541 dari hadis Abu Sa’id)

Apabila kamu telah mengetahui hal itu dan menjadi jelas bagimu penyimpangan dan kesesatan yang ada pada orang-orang Rafidhah (salah satu firqah Syi’ah), di mana mereka telah mencela dan melaknat para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan hati-hati mereka telah dipenuhi dengan kedengkian terhadap mereka (para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum), dan mereka berpendapat bahawa khilafah dan kepemimpinan itu tidak ada melainkan pada keluarga Ali.

Pernah ada seorang laki-laki menyebutkan keburukan Aisyah (dengan menuduhnya berzina) di hadapan Utbah bin Abdullah al-Hamdani al-Qadhi, maka ia berkata: “Wahai ghulam (panggilan untuk anak muda) penggallah lehernya,” maka orang-orang ‘Alawiyyun (keturunan Ali) berkata kepadanya: “Orang laki-laki ini termasuk golongan kami (dari Syi’ah).” Lalu ia (Utbah bin Abdullah aI-Hamdani) berkata:

“Aku berlindung kepada AlIah, orang ini telah menikam kehormatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah berfirman:

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (syurga).” (Surah an-Nuur, 24: 26)

Apabila Aisyah adalah wanita yang keji maka Nabi adalah laki-laki yang keji. Maka ia (orang yang menuduh Aisyah dengan kekejian) adalah orang kafir, maka penggallah lehernya,” lalu merekapun memenggal lehernya. (al-Lalikaai: 2402).

Imam asy-Syafi’i berkata: “Tidaklah aku melihat dalam perkara hawa nafsu, suatu kaum yang Iebih sering bersaksi palsu daripada orang-orang Rafidhah.” (al-Lalikaai: 2811)

Diriwayatkan dari asy-Sya’bi, dia berkata: “Wahai Malik (maksudnya Malik bin Mighwal al-Kufi, Abu Abdillah, tsiqatun (yang terpercaya) tsabtun (kuat), jamaah ulama meriwayatkan darinya), sekiranya aku menginginkan agar mereka (orang-orang Rafidhah memberikan budak-budak mereka padaku dan memenuhi rumahku dengan emas agar supaya aku berdusta untuk mereka atas Ali, niscaya mereka melakukannya. Akan tetapi demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku tidak akan berdusta atasnya selamanya. Wahai Malik, sesungguhnya aku telah mempelajari perkara-perkara hawa nafsu semuanya, namun aku tidak melihat suatu kaum yang mana mereka lebih dungu dan khasyabiyyah (salah satu kelompok syiah). Seandainya mereka tergolong binatang, maka sungguh mereka adalah keldai-keldai. Dan seandainya mereka tergolong binatang burung, maka sungguh mereka itu burung-burung rakham (sejenis burung yang dikenali memiliki sifat ingkar janji atau sifat kotor). (An-Nihayah karya lbnu al-Atsir: (2/212)).”

Dan ia berkata: “Aku peringatkan kamu dari hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan, dan seburuk-seburuknya adalah orang-orang Rafidhah. Hal itu kerana ada di antara mereka orang-orang yahudi yang mencela agama Islam agar kesesatan mereka menjadi hidup, sebagaimana Bulis bin Syaul (atau Syawudz) mencela seorang raja (bagi orang-orang yahudi atau nasrani). Mereka tidaklah memeluk Islam kerana rasa cinta atau takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi kerana kebencian dan celaan mereka kepada orang-orang muslim. Sehingga Ali bin Abi Thalib membakar mereka dengan api dan mengasingkan mereka ke beberapa negeri. Di antaranya; Abdullah bin Saba’ diasingkan ke negeri Sabath, Abdullah bin Syabab dan Abu al-Kurusy serta anaknya diasingkan ke negeri Jazat. ltu kerana bahayanya orang-orang Rafidhah adalah (sama seperti) bahayanya orang-orang yahudi (bagi kaum muslimin).

Orang-orang Yahudi berkata: “Kerajaan itu tidak layak kecuali bagi keluarga Dawud. Dan orang-orang Rafidhah mengatakan: “Kepemimpinan itu tidak layak kecuali bagi keluarga Ali.”

Orang-orang Yahudi berkata: “Tidak ada jihad fii sabilillah (di jalan Allah) sehingga al-Masih ad-Dajjal keluar atau Nabi Isa turun dari langit.” Manakala orang-orang Rafidhah mengatakan: “Tidak ada jihad sehingga imam Mahdi keluar kemudian ada yang mengumandangkan (jihad) dari langit.”

Orang-orang Yahudi melewatkan/melambatkan solat Maghrib sehingga bintang-bintang menjadi jelas cahayanya. Demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Padahal Rasulullah bersabda:

“Umatku sentiasa dalam keadaan fitrah selagi mereka tidak melewatkan solat Maghrib hingga bintang-bintang menjadi terang cahayanya.” (Sahih, lihat Al-Irwa, 917)

Orang-orang Yahudi sedikit berpaling dari arah kiblat. Demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi memanjangkan/melabuhkan pakaian (sehingga di bawah mata kaki). Demikian pula halnya orang-orang Rafidhah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang memanjangkan pakaiannya (di bawah mata kaki), lalu beliau menjadikannya berpakaian di atas mata kaki.

Orang-orang Yahudi mengubah kitab Taurat. Demikian pula orang-orang Rafidhah, mereka telah mengubah al-Qur’an. Orang-orang Yahudi berpendapat bahawa wanita tidak memiliki masa ‘lddah. Begitulah juga dengan orang-orang Rafidhah. Orang-orang Yahudi membenci malaikat Jibril dan mengatakan: “Dia (Jibril) adalah musuh kami.” Demikian pula sebahagian orang Rafidhah, mereka mengatakan: “Jibril keliru/tersalah dalam menyampaikan wahyu kepada Muhammad.”

Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih utama berbanding orang-orang Rafidhah dengan dua perkara: (iaitu) Orang-orang Yahudi ditanya: “Siapakah orang terbaik dari pemeluk agama kalian?” Mereka menjawab: “Para sahabat Nabi Musa.” Dan orang-orang Nashrani ditanya: “Siapakah orang terbaik dari pemeluk agama kalian?” Mereka jawab: “Para sahabat Nabi ‘isa.”

Sementara orang-orang Rafidhah ditanya: “Siapakah seburuk-buruk orang dari pemeluk agama kalian?” Mereka jawab: “Para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”. Mereka (orang-orang Rafidhah) diperintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka (para sahabat Nabi) tetapi mereka bertindak sebaliknya iaitu dengan mencelanya. Maka pedang (wajib) dihunuskan kepada mereka sehingga ke hari kiamat. Kaki mereka tidak akan kukuh dan panji mereka tidak akan tertegak serta kalimat (persatuan) mereka tidak akan terwujud. Dakwah mereka tidak sah, dan persatuan mereka bercerai-berai. Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, maka AlIah akan selalu memadamkannya. (al-Laalikaai (4/1461))

Muhammad bin Shubaih as-Sammak berkata: “Aku telah mengetahui bahawa orang-orang Yahudi tidak mencela para sahabat Nabi Musa, dan orang-orang Nasrani tidak mencela para sahabat Nabi ‘Isa. Maka bagaimana dengan keadaanmu wahai orang bodoh, kàmu mencela para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam? Aku telah tahu dari (pintu) mana kamu datang? Dosamu tidak menyibukkan dirimu. Sekiranya kamu disibukkan oleh dosamu, niscaya kamu akan merasa takut kepada Rabbmu. Sesungguhnya termasuk dari dosamu adalah kamu lalai dari orang-orang jahat, celakalah kamu. Bagaimana kamu tidak Ialai dari (membicarakan kesalahan) orang-orang baik (yakni para sahabat)? Sekiranya kamu termasuk orang-orang baik niscaya kamu tidak akan mencela orang-orang yang melakukan, bahkan kamu berharap bagi mereka rahmat dari Dzat yang paling Maha Penyayang. Akan tetapi, (memang) kamu termasuk orang-orang buruk, maka dari itu kamu mencela para syuhada’ (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang soleh. Wahai pencela para sahabat Nabi, sekiranya kamu tidur di malam harimu, dan berbuka puasa di siang harimu, maka itu lebih baik bagimu daripada kamu menghidupkan malam harimu dengan qiyamul lail dan siang hariimu dengan puasa sedangkan kamu mencela orang-orang baik (para sahabat Nabi). Dan bergembiralah kamu dengan sesuatu yang tiada kegembiraan di dalamnya, jika kamu tidak bertaubat dari apa yang kamu lihat dan dengar. CelakaIah kamu, mereka (para sahabat Nabi) telah mendapat kemuliaan dalam perang Badr, dan mereka (juga) telah mendapat kemuliaan dalam perang Uhud, sebab mereka semuanya telah mendapat ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka disesatkan oleh syaitan. Disebabkan sebahagian kesalahan yang telah mereka lakukan (di masa Iampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.” (Ali ‘Imran, 3: 155)

Kami berhujjah untuk Nabi Ibrahim Khalilur Rahman (kekasih Allah), dia berkata:

“Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang menderhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (Surah Ibrahim, 14: 36)

Dia telah menawarkan ampunan bagi orang yang derhaka. Sekiranya dia mengatakan, “Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan adzab-Mu adalah adzab yang pedih”, maka bererti dia telah menampakkan sifat balas dendam. Maka dengan (perbuatan) siapakah kamu berhujjah (untuk perbuatanrmu) wahai orang bodoh. Maka tiada lain kamu berhujjah hanyalah dengan (perbuatan) orang-orang bodoh. Sungguh seburuk-buruk khalaf (generasi yang datang setelah generasi salaf) adalah orang-orang khalaf yang mencela orang-orang salaf (yang soleh). Sesungguhnya seseorang dari generasi salafus soleh itu lebih baik dari seribu orang dari generasi khalaf. Mereka (para sahabat Nabi) telah mendapat ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 155)

Maka apa yang akan kamu katakan kepada orang yang telah diampuni oleh Allah?” (all-Laalikaai, 2819)

Maka, hendaklah orang-orang yang menyeru kepada pendekatan di antara sunnah dan syi’ah (sebagaimana mereka sangka) bertaqwa kepada Allah. Perumpamaan mereka seperti orang yang dijelaskan oleh Allah dalam kitab-Nya:

“Dan mereka mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (Surah an-Nisa’, 4: 150)

Dan di sana hanya ada satu jalan dari satu golongan, iaitu golongan yang selamat, yang dimenangkan dan tampil (dengan kebenaran) hingga hari kiamat. Maka atas dasar apakah mereka (syi’ah dan sunnah) dapat bertemu? Mereka adalah (seperti yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala):

“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafr).” (Surah an-Nisa’, 4: 143)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberikan perumpamaan untuk perkataan mereka (sebagaimana dalam hadisnya):

“Perumpamaan seorang munafiq itu seperti seekor domba yang pulang pergi tidak keruan antara dua domba. Terkadang ia pergi ke domba ini dan terkadang pula ia pergi ke domba itu. Ia tidak tahu domba mana yang akan Ia ikuti.” (Diriwayatkan oleh Muslim (hadis no. 2784))

Barangsiapa yang mengehendaki tambahan penjelasan dalam masalah ini, dan ingin mengetahui bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, maka silakan merujuk kitab Mas’alatut Taqrib baina Ahlis Sunnati wasy Syi’ati karya Dr. Nashir al-Qifari. Ia merupakan sebuah kitab yang sangat besar faedahnya dalam persoalan ini.

Dinukil dan disunting dari:

Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 127-129. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)

No comments:

Post a Comment