Permasalahan Dalam Memahami Sifah “Ma’iyah (kebersamaan)” Allah Dengan Makhluk-Nya
Dalam masalah kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya ini manusia terbahagi menjadi tiga golongan:
Golongan pertama:
Golongan pertama menyatakan, “Kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya, secara umum bermakna mengetahui dan mengawasi mereka; dan secara khusus bermakna memberi pertolongan dan dukungan kepada mereka. Pemahaman seperti ini turut disertai keyakinan bahawa keberadaan Allah tinggi bersemayam di atas ‘Arsy.”
Golongan kedua:
Golongan kedua mengatakan, “Kebersamaan Allahd engan makhluk-Nya bermakna Dia bersama mereka di bumi.” Dengan pemahamannya seperti itu mereka telah menafikan keberadaan Allah yang tinggi bersemayam di atas ‘Arsy. Yang termasuk golongan kedua ini adalah golongan Hululiyah, golongan Jahmiyah, dan beberapa golongan lainnya. Mazhab mereka jelas mazhab yang batil lagi mungkar. Para Salaf telah bersepakat menyatakan batilnya mazhab ini dan mengingkari pemahaman mereka yang batil itu.
Golongan ketiga:
Golongan ketiga menyatakan, “Kebersamaan Allah bermakna Dia bersama makhluk-Nya di bumi dengan tetap meyakini bahawa Allah berada tinggi di atas ‘Arsy.”
Pendapat ini disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 6/229.
Mereka menganggap telah memahami nash dari zahirnya dalam masalah kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya dan keberadaan-Nya yang tinggi di atas ‘Arsy. Dengan anggapannya seperti itu mereka telah berbuat dusta dan telah tersesat, kerana nash-nash tentang kebersamaan Allah tidak menunjukkan Allah bercampur dengan makhluk-Nya. Jadi kefahaman seperti ini adalah batil, kerana tidak mungkin al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya mengandungi kebatilan.
Perlu difahami bahawa pemahaman para Salaf terhadap kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya tidak bererti Allah sekadar mengetahui saja, akan tetapi juga mengandungi pengertian Allah meneliti, mendengar, melihat, menguasai, mengatur, dan pengertian-pengertian lainnya yang menunjukkan kerububiyahan Allah Ta’ala.
Firman Allah s.w.t.:
Dalam masalah kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya ini manusia terbahagi menjadi tiga golongan:
Golongan pertama:
Golongan pertama menyatakan, “Kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya, secara umum bermakna mengetahui dan mengawasi mereka; dan secara khusus bermakna memberi pertolongan dan dukungan kepada mereka. Pemahaman seperti ini turut disertai keyakinan bahawa keberadaan Allah tinggi bersemayam di atas ‘Arsy.”
Golongan kedua:
Golongan kedua mengatakan, “Kebersamaan Allahd engan makhluk-Nya bermakna Dia bersama mereka di bumi.” Dengan pemahamannya seperti itu mereka telah menafikan keberadaan Allah yang tinggi bersemayam di atas ‘Arsy. Yang termasuk golongan kedua ini adalah golongan Hululiyah, golongan Jahmiyah, dan beberapa golongan lainnya. Mazhab mereka jelas mazhab yang batil lagi mungkar. Para Salaf telah bersepakat menyatakan batilnya mazhab ini dan mengingkari pemahaman mereka yang batil itu.
Golongan ketiga:
Golongan ketiga menyatakan, “Kebersamaan Allah bermakna Dia bersama makhluk-Nya di bumi dengan tetap meyakini bahawa Allah berada tinggi di atas ‘Arsy.”
Pendapat ini disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 6/229.
Mereka menganggap telah memahami nash dari zahirnya dalam masalah kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya dan keberadaan-Nya yang tinggi di atas ‘Arsy. Dengan anggapannya seperti itu mereka telah berbuat dusta dan telah tersesat, kerana nash-nash tentang kebersamaan Allah tidak menunjukkan Allah bercampur dengan makhluk-Nya. Jadi kefahaman seperti ini adalah batil, kerana tidak mungkin al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya mengandungi kebatilan.
Perlu difahami bahawa pemahaman para Salaf terhadap kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya tidak bererti Allah sekadar mengetahui saja, akan tetapi juga mengandungi pengertian Allah meneliti, mendengar, melihat, menguasai, mengatur, dan pengertian-pengertian lainnya yang menunjukkan kerububiyahan Allah Ta’ala.
Firman Allah s.w.t.:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dan Dia tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada. (al-Hadid 57: 4)
Kata ma’a/مَعَ (bersama) dalam ayat di atas adalah benar dan harus difahami menurut makna yang sebenarnya dan menurut zahir kata tersebut. Akan tetapi, adakah maksudnya kita wajar memahami kata tersebut menurut makna yang sebenarnya dan menurut zahirnya? Adakah yang dimaksudkan: Allah bersama para makhluk-Nya dalam erti bercampur dan tinggal bersama mereka di tempat mereka atau pun maksudnya: Allah ebrsama makhluk-Nya dalam erti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan kerububiyahan Allah sambil bersemayam di atas ‘Arsy di atas seluruh makhluk-Nya?
Jelas, tanpa ada keraguan lagi, pendapat yang pertama bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat di atas. Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan hal tersebut, kerana kata مَعَ (bersama) di sini dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla, padahal kita tahu bahawa Allah tidak mungkin terjamah oleh satu makhluk pun. Lagi pula, dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an, kata مَعَ (bersama) tidak menunjukkan adanya percampuran atau kebersamaan di suatu tempat. Kata tersebut ditafsirkan menurut konteksnya.
Mengertikan perkataan: “Allah bersama makhluk-Nya” dengan pengertian: Allah bersama makhluk-Nya secara bersampur adalah pengertian yang batil. Ini boleh kita lihat dari beberapa sisi.
1 – Pengertian seperti itu menyelisihi ijma’ para salaf. Tidak seorang pun dari mereka mengertikan seperti itu. Mereka bersepakat menolak orang yang mengertikan sepetrti itu.
2 – Pengertian seperti itu bertentangan dengan sifat ‘Uluw (tinggi) Allah Ta’ala yang sudah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ para ulama salaf. Apa saja yang bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil, jelas batil, kerana bererti menentang kebenaran. Berdasarkan hal ini, mengertikan perkataan: “Allah bersama makhluk-Nya” dengan pengertian Allah berdiam bersama makhluk-Nya secara bercampur adalah batil berdasarkan al-Qur’an, sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ ulama salaf.
3 – Pengertian seperti itu menimbulkan akibat yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta’ala.
Orang yang benar-benar mengenal Allah dan hendak mengagungkan-Nya, serta memahami dengan baik kata مَعَ (bersama) dalam bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an tidak akan mengatakan, “Kata مَعَ (bersama) dalam ayat tersebut memberikan pengertian Allah bercampur dan tinggal bersama makhluk-Nya.” Orang yang tidak mengetahui bahasa Arab dan keagungan Allah Ta’ala sajalah yang akan mengertikan seperti itu.
Dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, 6/103, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengertian kata مَعَ (bersama) berbeza-beza mengikut konteks penggunaannya. Sebagai contohnya firman Allah:
Kata ma’a/مَعَ (bersama) dalam ayat di atas adalah benar dan harus difahami menurut makna yang sebenarnya dan menurut zahir kata tersebut. Akan tetapi, adakah maksudnya kita wajar memahami kata tersebut menurut makna yang sebenarnya dan menurut zahirnya? Adakah yang dimaksudkan: Allah bersama para makhluk-Nya dalam erti bercampur dan tinggal bersama mereka di tempat mereka atau pun maksudnya: Allah ebrsama makhluk-Nya dalam erti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan kerububiyahan Allah sambil bersemayam di atas ‘Arsy di atas seluruh makhluk-Nya?
Jelas, tanpa ada keraguan lagi, pendapat yang pertama bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat di atas. Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan hal tersebut, kerana kata مَعَ (bersama) di sini dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla, padahal kita tahu bahawa Allah tidak mungkin terjamah oleh satu makhluk pun. Lagi pula, dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an, kata مَعَ (bersama) tidak menunjukkan adanya percampuran atau kebersamaan di suatu tempat. Kata tersebut ditafsirkan menurut konteksnya.
Mengertikan perkataan: “Allah bersama makhluk-Nya” dengan pengertian: Allah bersama makhluk-Nya secara bersampur adalah pengertian yang batil. Ini boleh kita lihat dari beberapa sisi.
1 – Pengertian seperti itu menyelisihi ijma’ para salaf. Tidak seorang pun dari mereka mengertikan seperti itu. Mereka bersepakat menolak orang yang mengertikan sepetrti itu.
2 – Pengertian seperti itu bertentangan dengan sifat ‘Uluw (tinggi) Allah Ta’ala yang sudah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ para ulama salaf. Apa saja yang bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil, jelas batil, kerana bererti menentang kebenaran. Berdasarkan hal ini, mengertikan perkataan: “Allah bersama makhluk-Nya” dengan pengertian Allah berdiam bersama makhluk-Nya secara bercampur adalah batil berdasarkan al-Qur’an, sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ ulama salaf.
3 – Pengertian seperti itu menimbulkan akibat yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta’ala.
Orang yang benar-benar mengenal Allah dan hendak mengagungkan-Nya, serta memahami dengan baik kata مَعَ (bersama) dalam bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an tidak akan mengatakan, “Kata مَعَ (bersama) dalam ayat tersebut memberikan pengertian Allah bercampur dan tinggal bersama makhluk-Nya.” Orang yang tidak mengetahui bahasa Arab dan keagungan Allah Ta’ala sajalah yang akan mengertikan seperti itu.
Dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, 6/103, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengertian kata مَعَ (bersama) berbeza-beza mengikut konteks penggunaannya. Sebagai contohnya firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid 57: 4)
Pengertian zahir ayat di atas adalah Allah mengerti, menyaksikan, mengawasi dan mengetahui keadaan kalian. Inilah makna pernyataan Salaf: “Allah selalu bersama mereka dengan ilmu-Nya”. Memang begitulah pengertian zahir dan makna sebenarnya firman-firman Allah tersebut.
Demikian juga firman Allah:
Pengertian zahir ayat di atas adalah Allah mengerti, menyaksikan, mengawasi dan mengetahui keadaan kalian. Inilah makna pernyataan Salaf: “Allah selalu bersama mereka dengan ilmu-Nya”. Memang begitulah pengertian zahir dan makna sebenarnya firman-firman Allah tersebut.
Demikian juga firman Allah:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah kamu perhatikan bahawa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan tiga orang, maka Dia-lah yang ke-empatnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan lima orang, maka Dia-lah yang ke-enamnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan oleh orang yang kurang atau lebih dari jumlah tersebut, maka Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian pada hari kiamat kelak Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala seuatu.” (al-Mujadilah 58: 7)
Begitu juga ketika Nabi berkata kepada Abu Bakar di gua:
“Janganlah kamu berduka cita, kerana sesungguhnya Allah bersama kita.” (at-Taubah 9: 40)
Ayat ini pun benar menurut zahirnya, iaitu dengan pengertian Allah mengetahui, menolong dan mendukungnya.”
Ibnu Taimiyah melanjutkan, “Kata مَعَ (bersama) banyak kita temui dalam al-Qur’an dan Sunnah yang mengandungi pengertian sendiri-sendiri tergantung konteks kalimatnya. Atau boleh jadi menunjukkan pengertian yang hampir sama, akan tetapi masing-masing memiliki kehususan sendiri. Menurut dua kemungkinan ini pun pengertian kata مَعَ (bersama) tidak menunjukkan dzat kemungkinan itu tidak boleh dikatakan pengertian مَعَ (bersama) telah dipalingkan dari zahirnya.”
Dalil bahawa kata مَعَ (bersama) tidak bererti dzat Rabb Azza wa Jalla bercampur dengan makhluk-Nya. Allah sebutkan di dalam surat al-Mujadilah di antara keluasan ilmu-Nya, di awal dan di akhir ayat. Allah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bahawa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan tiga orang, maka Dia-lah yang ke-empatnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan lima orang, maka Dia-lah yang ke-enamnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan oleh orang yang kurang atau lebih dari jumlah tersebut, maka Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian pada hari kiamat kelak Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala seuatu.” (al-Mujadilah 58: 7)
Zahir ayat ini menunjukkan kata مَعَ (bersama) ertinya Allah sentiasa mengetahui para hamba-Nya; tidak ada satu pun amalan mereka yang tidak diketahui oleh Allah. Jadi, kata مَعَ (bersama) bukan bermakna Allah bercampur bersama mereka di bumi ini.
Adapun kata مَعَ (bersama) dalam surat al-Hadid disebutkan oleh Allah didahului dengan menyebutkan bahawa Allah istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan memiliki ilmu yang Maha Luas. Ayat ini juga diakhiri dengan penjelasan bahawa Allah melihat semua amalan hamba-Nya. Allah berfirman:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid 57: 4)
Zahir ayat ini menunjukkan bahawa kata مَعَ (bersama) ertinya Allah mengetahui dan melihat semua amalan amba-Nya tinggi di atas sana, iaitu di atas ‘arsy. Ayat ini tidak menunjukkan bahawa Allah bercampur dengan makhluk-Nya dan tidak pula bersama mereka di muka bumi. Jika tidak difahami demikian, tentu akhir ayat tersebut bertentangan dengan awalnya yang menunjukkan bahawa Allah bersemayam di atas ‘Arsy.
Dari keterangan di atas jelaslah bahawa kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya dalam ayat ini bermakna Allah mengetahui keadaan merka, mendengar pembicaraan emreka, melihat perbuatan mereka, dan mengatur segala urusan mereka. Sehingga Allahlah yang menghidupkan, mematikan, memberi kekayaan dan kefakiran; juga memberi dan mencabut kerajaan dari seseorang menurut kehendak-Nya, memuliakan dan menghinakan orang menurut kehendak-Nya, serta pengertian-pengertian lainnya yang menunjukkan rububiyah Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun dari hamba-Nya yang mampu menghalang kehendak-Nya. Dzat yang demikian sifatnya benar-benar bersama makhluk-Nya secara hakikat dan tinggi di atas mereka, iaitu di atas ‘Arsy secara hakikat pula.
Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyah (kitab Majmu’ Fatawa, 3/142) dalam mebahaskan sifat ma’iyah, berkata, “Semua firman Allah yang menyebutkan bahawa Dia berada di atas ‘Arsy dan bersama kita adalah benar secara hakikat. Kita tidak boleh melakukan tahrif (menyelewengkan maknanya kepada makna yang lain) terhadap ayat-ayat seperti itu, namun wajib menjaganya dari anggapan-anggapan dusta.”
Seterusnya, berkaitan persoalan ini kita boleh menjelaskannya kepada tiga sudut:
Pertama:
Allah Ta’ala menyebut kedua hal tersebut (istiwa di ‘Arsy dengan kebersamaan Allah terhadap makhluk-Nya) dalam al-Qur’an yang ayat-ayatnya tidak mungkin saling bercanggah. Bila ada ayat-ayat al-Qur’an yang nampak di mata kita kontradik, hendaklah kita teliti ulang, kerana Allah berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang anyak di dalamnya.” (an-Nisa’ 4: 82)
Kemudian, jika kita belum jelas juga, hendaklah kita mengambil sikap para ulama, iaitu dengan menyatakan:
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat; semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (Ali Imran 3: 7)
Jadi, serahkanlah hal itu kepada Allah yang Maha Mengetahui. Sedarilah bahawa ketidak mampuan tersebut adalah kerana kelemahan ilmu dan pemahaman kita. Al-Qur’an tidak mungkin saling bertentangan.
Ibnul Qayyim juga mengemukakan alasan yang serupa dalam kitab Mukhtashar ash-Shawa’iq karya Ibnul Maushili, hal. 410, ketika membahaskan berkenaan hal-hal yang dikira majaz. Di sana dia menyatakan, “Allah telah meng-khabarkan bahawa Dia bersama para makhluk-Nya dan meng-Khabarkan pula bahawa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, yang keduanya Dia sebutkan secara bersamaan. Ini seperti dalam firman Allah Ta’ala:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid 57: 4)
Dia melanjutkan “Dalam ayat ini allah menyatakan bahawa Dia menciptakan langit dan bumi, bersemayam di atas ‘Arsy dan bersama makhluk-Nya, melihat amal perbuatan mereka dari atas ‘Arsy.
Keberadaan Allah tinggi di atas ‘Arsy tidak bertentangan dengan kebersamaan Dia dengan para makhluk-Nya; sebaliknya, kebersamaan Dia dengan para makhluk-Nya juga tidak menafikan keberadaan Dia yang tinggi di atas ‘Arsy. Jadi, kedua-duanya benar.”
Kedua:
Hakikat kebersamaan Allah dengan para makhluk-Nya tidak bertentangan dengan keberadaan-Nya yang tinggi di atas ‘Arsy. Keduanya ini boleh dikompromikan seperti terjadi pada makhluk. Biasa orang mengatakan: “Selama kami meneruskan perjalanan, bulan sentiasa bersama kami.” Perkataan seperti ini tidak saling kontradik/bercanggah. Tidak akan ada seorang pun yang memahami perkataan tersebut bahawa bulan turun ke bumi. Jika hal seperti itu boleh terjadi pada pada diri makhluk, tentu akan lebih layak dan lebih boleh terjadi pada diri Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang tinggi di atas ‘Arsy. Kerana hakikat makna kata مَعَ (bersama) tidak mengharuskan berkumpulnya dua dzat atau lebih di satu tempat.
Pemahaman seperti itu diisyaratkan oleh Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa al-Hamawiyah (Majmu’ fatawa, 5/103). Di sana dia berkata, “Hal itu kerana dalam bahasa arab, kata مَعَ (bersama) jika disebutkan secara mutlak, maka zahirnya juga menunjukkan kebersamaan yang mutlak, tidak mengharuskan bersentuhan atau berkumpulnya. Namun jika disebutkan secara muqayyad (terbatas) oleh pengertian tertentu, maka maknanya pun terbatas dengan pengertian tersebut. Contohnya, jika ada orang mengatakan, “Selama kami meneruskan perjalanan, bulan dan bintang sentiasa bersama kami.” Contoh lainnya, ketika ada orang mengatakan, “Barang ini bersamaku.” Dia boleh mengatakan seperti itu, kerana keberadaan benda tersebut menyertainya, walaupun berada di atas kepalanya. Demikian juga allah; Dia selalu bersama makhluk-Nya secara hakikat dan Dia pun berada di atas ‘Arsy secara hakikat pula.
Ketiga:
Andaikata sifat ma’iyah (kebersamaan) dengan sifat ‘Uluw (tinggi) tidak mungkin disatukan pada makhluk, hal ini tidak mesti dinafikan pada Allah yang maha mencipta yang telah menyebutkan kedua sifat ini untuk diri-Nya secara bersama, kerana tidak ada satupun makhluk yang menyamai-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Begitu juga ketika Nabi berkata kepada Abu Bakar di gua:
“Janganlah kamu berduka cita, kerana sesungguhnya Allah bersama kita.” (at-Taubah 9: 40)
Ayat ini pun benar menurut zahirnya, iaitu dengan pengertian Allah mengetahui, menolong dan mendukungnya.”
Ibnu Taimiyah melanjutkan, “Kata مَعَ (bersama) banyak kita temui dalam al-Qur’an dan Sunnah yang mengandungi pengertian sendiri-sendiri tergantung konteks kalimatnya. Atau boleh jadi menunjukkan pengertian yang hampir sama, akan tetapi masing-masing memiliki kehususan sendiri. Menurut dua kemungkinan ini pun pengertian kata مَعَ (bersama) tidak menunjukkan dzat kemungkinan itu tidak boleh dikatakan pengertian مَعَ (bersama) telah dipalingkan dari zahirnya.”
Dalil bahawa kata مَعَ (bersama) tidak bererti dzat Rabb Azza wa Jalla bercampur dengan makhluk-Nya. Allah sebutkan di dalam surat al-Mujadilah di antara keluasan ilmu-Nya, di awal dan di akhir ayat. Allah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bahawa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan tiga orang, maka Dia-lah yang ke-empatnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan lima orang, maka Dia-lah yang ke-enamnya. Bila ada pembicaraan rahsia yang dilakukan oleh orang yang kurang atau lebih dari jumlah tersebut, maka Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian pada hari kiamat kelak Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala seuatu.” (al-Mujadilah 58: 7)
Zahir ayat ini menunjukkan kata مَعَ (bersama) ertinya Allah sentiasa mengetahui para hamba-Nya; tidak ada satu pun amalan mereka yang tidak diketahui oleh Allah. Jadi, kata مَعَ (bersama) bukan bermakna Allah bercampur bersama mereka di bumi ini.
Adapun kata مَعَ (bersama) dalam surat al-Hadid disebutkan oleh Allah didahului dengan menyebutkan bahawa Allah istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan memiliki ilmu yang Maha Luas. Ayat ini juga diakhiri dengan penjelasan bahawa Allah melihat semua amalan hamba-Nya. Allah berfirman:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid 57: 4)
Zahir ayat ini menunjukkan bahawa kata مَعَ (bersama) ertinya Allah mengetahui dan melihat semua amalan amba-Nya tinggi di atas sana, iaitu di atas ‘arsy. Ayat ini tidak menunjukkan bahawa Allah bercampur dengan makhluk-Nya dan tidak pula bersama mereka di muka bumi. Jika tidak difahami demikian, tentu akhir ayat tersebut bertentangan dengan awalnya yang menunjukkan bahawa Allah bersemayam di atas ‘Arsy.
Dari keterangan di atas jelaslah bahawa kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya dalam ayat ini bermakna Allah mengetahui keadaan merka, mendengar pembicaraan emreka, melihat perbuatan mereka, dan mengatur segala urusan mereka. Sehingga Allahlah yang menghidupkan, mematikan, memberi kekayaan dan kefakiran; juga memberi dan mencabut kerajaan dari seseorang menurut kehendak-Nya, memuliakan dan menghinakan orang menurut kehendak-Nya, serta pengertian-pengertian lainnya yang menunjukkan rububiyah Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun dari hamba-Nya yang mampu menghalang kehendak-Nya. Dzat yang demikian sifatnya benar-benar bersama makhluk-Nya secara hakikat dan tinggi di atas mereka, iaitu di atas ‘Arsy secara hakikat pula.
Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyah (kitab Majmu’ Fatawa, 3/142) dalam mebahaskan sifat ma’iyah, berkata, “Semua firman Allah yang menyebutkan bahawa Dia berada di atas ‘Arsy dan bersama kita adalah benar secara hakikat. Kita tidak boleh melakukan tahrif (menyelewengkan maknanya kepada makna yang lain) terhadap ayat-ayat seperti itu, namun wajib menjaganya dari anggapan-anggapan dusta.”
Seterusnya, berkaitan persoalan ini kita boleh menjelaskannya kepada tiga sudut:
Pertama:
Allah Ta’ala menyebut kedua hal tersebut (istiwa di ‘Arsy dengan kebersamaan Allah terhadap makhluk-Nya) dalam al-Qur’an yang ayat-ayatnya tidak mungkin saling bercanggah. Bila ada ayat-ayat al-Qur’an yang nampak di mata kita kontradik, hendaklah kita teliti ulang, kerana Allah berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang anyak di dalamnya.” (an-Nisa’ 4: 82)
Kemudian, jika kita belum jelas juga, hendaklah kita mengambil sikap para ulama, iaitu dengan menyatakan:
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat; semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (Ali Imran 3: 7)
Jadi, serahkanlah hal itu kepada Allah yang Maha Mengetahui. Sedarilah bahawa ketidak mampuan tersebut adalah kerana kelemahan ilmu dan pemahaman kita. Al-Qur’an tidak mungkin saling bertentangan.
Ibnul Qayyim juga mengemukakan alasan yang serupa dalam kitab Mukhtashar ash-Shawa’iq karya Ibnul Maushili, hal. 410, ketika membahaskan berkenaan hal-hal yang dikira majaz. Di sana dia menyatakan, “Allah telah meng-khabarkan bahawa Dia bersama para makhluk-Nya dan meng-Khabarkan pula bahawa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, yang keduanya Dia sebutkan secara bersamaan. Ini seperti dalam firman Allah Ta’ala:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya. Dia juga mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke arahnya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid 57: 4)
Dia melanjutkan “Dalam ayat ini allah menyatakan bahawa Dia menciptakan langit dan bumi, bersemayam di atas ‘Arsy dan bersama makhluk-Nya, melihat amal perbuatan mereka dari atas ‘Arsy.
Keberadaan Allah tinggi di atas ‘Arsy tidak bertentangan dengan kebersamaan Dia dengan para makhluk-Nya; sebaliknya, kebersamaan Dia dengan para makhluk-Nya juga tidak menafikan keberadaan Dia yang tinggi di atas ‘Arsy. Jadi, kedua-duanya benar.”
Kedua:
Hakikat kebersamaan Allah dengan para makhluk-Nya tidak bertentangan dengan keberadaan-Nya yang tinggi di atas ‘Arsy. Keduanya ini boleh dikompromikan seperti terjadi pada makhluk. Biasa orang mengatakan: “Selama kami meneruskan perjalanan, bulan sentiasa bersama kami.” Perkataan seperti ini tidak saling kontradik/bercanggah. Tidak akan ada seorang pun yang memahami perkataan tersebut bahawa bulan turun ke bumi. Jika hal seperti itu boleh terjadi pada pada diri makhluk, tentu akan lebih layak dan lebih boleh terjadi pada diri Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang tinggi di atas ‘Arsy. Kerana hakikat makna kata مَعَ (bersama) tidak mengharuskan berkumpulnya dua dzat atau lebih di satu tempat.
Pemahaman seperti itu diisyaratkan oleh Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa al-Hamawiyah (Majmu’ fatawa, 5/103). Di sana dia berkata, “Hal itu kerana dalam bahasa arab, kata مَعَ (bersama) jika disebutkan secara mutlak, maka zahirnya juga menunjukkan kebersamaan yang mutlak, tidak mengharuskan bersentuhan atau berkumpulnya. Namun jika disebutkan secara muqayyad (terbatas) oleh pengertian tertentu, maka maknanya pun terbatas dengan pengertian tersebut. Contohnya, jika ada orang mengatakan, “Selama kami meneruskan perjalanan, bulan dan bintang sentiasa bersama kami.” Contoh lainnya, ketika ada orang mengatakan, “Barang ini bersamaku.” Dia boleh mengatakan seperti itu, kerana keberadaan benda tersebut menyertainya, walaupun berada di atas kepalanya. Demikian juga allah; Dia selalu bersama makhluk-Nya secara hakikat dan Dia pun berada di atas ‘Arsy secara hakikat pula.
Ketiga:
Andaikata sifat ma’iyah (kebersamaan) dengan sifat ‘Uluw (tinggi) tidak mungkin disatukan pada makhluk, hal ini tidak mesti dinafikan pada Allah yang maha mencipta yang telah menyebutkan kedua sifat ini untuk diri-Nya secara bersama, kerana tidak ada satupun makhluk yang menyamai-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
No comments:
Post a Comment