KEUTAMAAN AHLUL BAIT DAN KEWAJIBAN KEPADA MEREKA TANPA MENGURANGINYA ATAU BERLEBIH-LEBIHAN
http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com
http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com
Ahlul bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan bagi mereka untuk menerima shadaqah (zakat). Mereka adalah keluarga Ali r.a., keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga al-Abbas, keturunan al-Harits bin Abdil Muththalib serta isteri-isteri Nabi s.a.w., dan putera-puteri beliau.
Hal itu berdasarkan firman Allah s.w.t.,
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Imam lbnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesuatu yang tidak diragukan lagi dan perenungan terhadap al-Qur’an adalah bahawa isteri-isteri Nabi s.a.w., itu termasuk dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Sebab pembicaraan masalah tersebut berkaitan dengan mereka. Kerana itu Allah s.w.t. berfirman sesudahnya,
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu).” (al-Ahzab: 34).
Ertinya, amalkanlah apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya di rumah kalian, sama ada al-Qur’an mahupun as-Sunnah. Demikian sebagaimana dikatakan oleh Qatadah dan lainnya. Lalu ingatlah nikmat yang diberikan Allah khusus kepada kalian di antara manusia. Dan bahawasanya wahyu itu diturunkan Allah di rumah kalian, tidak di rumah orang lain. Dan Aisyah binti Abu Bakar r.ha adalah yang paling utama dari mereka dengan nikmat tersebut serta yang paling istimewa menerima rahmat yang banyak tersebut. Sebab tidak pernah turun wahyu kepada Rasulullah s.a.w. di tempat tidur perempuan selain tempat tidur Aisyah r.ha. Demikian seperti disebutkan Nabi s.a.w.. Sebahagian ulama mengatakan, hal itu kerana Nabi tidak menikah dengan gadis selainnya dan tidak ada laki-laki lain yang tidur di tempat tidurnya selain beliau s.a.w. (maksudnya, Aisyah tidak menikah dengan selain Nabi s.a.w.). Kerana itu, adalah tepat jika Aisyah dikhususkan dengan keistimewaan dan kedudukan yang tinggi tersebut.
Selanjutnya, jika para isteri Nabi s.a.w. adalah termasuk keluarga (ahlul bait) Nabi s.a.w., maka para kerabatnya lebih berhak untuk mendapatkan sebutan ahlul bait. Demikian sebagaimana ditulis dalam Tafsir Ibnu Katsir.
Ahlus sunnah wal Jamaah mencintai Ahlul bait Rasulullah s.a.w., setia kepada mereka dan selalu menjaga wasiat Rasulullah s.a.w. yang diucapkannya pada hari Ghadir Khum (nama tempat):
“Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam hal ahli baitku.” (Hadis Riwayat Muslim)
Ahlus Sunnab wal Jamaah mencintai ahlul bait dan memuliakan mereka, sebab hal itu termasuk kecintaan terhadap Nabi s.a.w.. Tetapi hal itu harus dengan syarat bahawa mereka mengikuti sunnah dan berada dalam agama yang lurus. Sebagaimana para salaf mereka, seperti al-Abbas dan putra-putrinya serta Ali dan putra putrinya. Adapun mereka yang menyelisihi sunnah dan tidak berada dalam agama yang lurus, maka kita tidak boleh setia kepada mereka, meskipun mereka itu termasuk ahlul bait.
Jadi, sikap Ahlus Sunnah wal-Jamaah terhadap ahlul bait adalah sikap adil dan inshaf (lurus/jalan tengah). Mereka setia kepada ahlul bait yang berpegang teguh pada agama dan lurus dengannya, serta berlepas diri dari yang menyelisihi sunnah dan berpaling dari agama, meskipun ia termasuk ahlul bait keberadaannya sebagai ahlul bait dan kedekatannya dengan Rasul s.a.w., dari sisi kekerabatan sungguh tidak bermanfaat sedikit pun untuknya, sampai ia berada pada agama yang lurus.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, “Ketika diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. ayat,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (Asy-Syu’ara’: 214)
Maka beliau s.a.w. bersabda,
“Wahai segenap kaum Quraisy! —atau kalimat sejenis—, belilah diri kalian sendiri, sesungguhnya aku tidak berguna sama sekali bagi kalian di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Sesungguhnya aku tidak berguna sama sekali bagimu di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah! Sesungguhntja aku tidak berguna sama sekali bagimu di hadapan Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad! Mintalah kepadaku harta bendaku sesukamu, tetapi sesungguhnya aku tidak berguna sama sekali bagimu di hadapan Allah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda,
“Barangsiapa amalnya lambat, maka nasabnya tidak boleh mempercepat amalnya.” (Hadis Riwayat Muslim)
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah dalam hal ini juga dalam hal-hal lain selalu berada dalam manhaj yang adil dan jalan yang lurus, tidak meremehkan juga tidak berlebih-lebihan.
APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?
ReplyDeleteDlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna para ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. para isteri dan anak-anak beliau.
Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifatnya menjadi universal terdiri dari:
1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' dan rasul sudah meninggal terlebih dahulu.
2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau yang berhak menurunkan 'nasab'-nya, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.
Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam.
Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita anggap bernasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah?. ya jika merujuk pada Al Quran maka anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali tidaklah bisa mewariskan nasab Saidina Muhammad SAW.
Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka untuk selanjutnya yang seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Fatimah dan juga Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya.
Dengan demikian sistim nasab yang diterapkan itu tidan sistim nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari atau kembali lagi ke nasab laki-laki, ya seharusnya diambil dari nasab perempuan seterusnya.
Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.
Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya Saidina Hasan dan Husein bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.