Friday, March 13, 2009

094 - Hakikat Mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam

HAKIKAT CINTA KEPADA NABI MUHAMMAD
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com/

Di antara bukti bahawa orang yang beriman itu cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaii wa Sallam adalah seagaimana berikut:

1 - Mengimani bahawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah benar-benar utusan Allah untuk semua lapisan manusia dan jin.

Katakanlah: “Wahai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”. (Surah al-A’raf, 7: 158)

Ibnu Utsaimin berkata: “Dan paling mulianya utusan Nabi Muhammad kerana Rasulullah bersabda: “Aku adalah penghulu keturunan Adam esok pada hari Kiamat” (Hadis Riwayat Bukhari: 4712) dan kerana para nabi solat di belakang Rasulullah pada waktu malam mi’roj (Syarah Lum’atul i’tiqod, 1/136)

2 - Membela sunnahnya.

Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, nescaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya... (Surah Ali Imran, 3: 81)

3 - Menjalankan seruannya, dengan mengamalkan yang Wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang haram dan yang makruh.

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu... (Surah al-Anfal: 24)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata: ‘Adapun makna syahadat “wa ana Muhamaddan Rasulullah” ialah mentaati beliau dalam semua perintahnya, membenarkan semua beritanya dan menjauhi semua larangannya, serta tidak beribadah kecuali dengan syariatnya. (Ushul Tsalatsah, 24)

4 - Menjadikannya sebagai uswah (contoh/model) dalam segala urusan.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu... (Surah al-Ahzab, 33 :21)

5 - Membenci orang yang dibenci oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana diterangkan di dalam surah al-Mujadalah, 58: 22.

6 - Lebih mencintai Nabi berbanding kecintaan kepada dirinya dan orang lain.

Nabi itu (hendaklah) lebih utama bagi orang-orang mukmin dan diri mereka sendini ... (Surah al-Ahzab, 33: 6)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Demi Dzat yang diriku di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman salah satu di antara kamu sehingga aku lebih dicintai daripada ayah dan anaknya. (Hadis Riwayat al-Bukhari: 12)

7 - Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Sebagai contohnya, mencintai isteri-isterinya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang berpegang kepada sunnah-nya.

Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) menikahi isteri-isterinya selama-lamanya setelah beliau Wafat... (Surah al-Ahzab, 33: 53)

Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Janganlah kamu mencela sahabatku, seandainya salah satu di antara kamu berinfak sebesar gunung Uhud berupa emas, tidaklah mencapai walau pun satu mud salah satu di antara mereka dan tidak pula separuhnya. (Hadis Riwayat al-Bukhari: 3397)

8 - Beradab kepada Nabi dengan menyebut kedudukannya.

Orang yang hanya menyebut beliau dengan panggilan Muhammad, tidaklah memiliki adab, akan tetapi hendaklah memanggil dengan gelaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)... (Surah an-Nur, 24: 63)

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:

“Mereka itu berteriak memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari jauh wahai Abul Qosim, akan tetapi hendaklah mereka memuliakannya.” (Tafsir al-Qurthubi, 12/294)

9 - Berpegang kepada manhajnya (jalan/prinsip) dan manhaj sahabatnya.

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Kamu wajib mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk dan menunjukkah jalan yang benar, berpeganglah dengan sunnahnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu. (Hadis Riwayat Abu Dawud: 3991, disahihkan oleh al-Albani, 2735)

Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Ushulus Sunnah (prinsip-prinsip Sunnah) menurut kita (ahlus sunnah wal jamaah) ialah berpegang teguh kepada sunnah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mengikuti jejak mereka dan meninggalkan bid’ah.” (Ushulus Sunnah, Imam Ahmad Riwayat Abdus bin Malik al-Athor, 1/25-26)

10 - Wajib menjauhi bid’ah dan membenci ahlinya.

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Dan jauhkan dirimu dari perkara yang baru (dalam perkara agama) kerana setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. (Hadis Riwayat Abu Dawud: 3991, disahihkan oleh al-Albani, 2735)

- KEUTAMAAN CINTA KEPADA RASULULLAH -

Jika kita cinta kepada Nabi dengan kecintaan yang sebenar-benarnya, maka banyak faedah yang dapat kita ambil, di antaranya:

1 - Dikumpulkan bersama orang-orang yang mulia

Dan sesiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, iaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang soleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (Surah an-Nisa’, 41: 69)

2 - Dijamin memperoleh hidayah taufiq

Dan jika kamu taat kepada-Nya (Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam), niscaya kamu mendapat petunjuk... (Surah an-Nur, 24: 54)

3 - Menjadi orang yang bertaqwa dan terhindar dari perbuatan syirik

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya (orang Islam), mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (Surah az-Zumar, 39: 33)

Berkata Abdurrahman bin Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu: “Bahawa yang dimaksudkan dengan بالصدق adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan yang dimaksud وصدق به adalah orang Islam.”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Bahawa yang dimaksud dengan المتقون mereka yang berhenti dari perbuatan syirik (Tafsir Ibnu Katsir 4/70)

4 - Dijamin masuk surga

Dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Semua umatku masuk syurga kecuali orang yang enggan, mereka berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang enggan? Beliau menjawab:

Barangsiapa taat kepadaku, dia masuk syurga dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka dia adalah orang yang enggan. (Hadis Riwayat al-Bukhari: 6737)

5 - Dijamin hidup bahagia

(Iaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surah al-A’raf, 7: 157)

6 - Mencapai kesempurnaan iman

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beniman sehingga mereka menjadikan kamu hakim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Surah an-Nisa’, 4: 65)

7 - Allah memberi kemenangan

Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada waktu perang Khaibar:

Sungguh aku esok akan menyerahkan bendera kepada orang yang Allah akan memenangkannya yang dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nya mencintainya. (Hadis Riwayat al-Bukhari: 2787)

- KESALAHAN DALAM MENCINTAI RASULULLAH -

Berikut adalah beberapa contoh pula orang yang mengaku dirinya cinta kepada Rasulullah namun sebenarnya tidak, bahkan sebenarnya telah merendahkan kedudukannya, misalnya:

1 - Mengunjungi kuburannya secara khusus

Misalnya orang yang berangkat haji ketika sampai di Madinah bukan mendahulukan solat Tahiyatul Masjid, akan tetapi mereka berebut untuk menziarahi makam/kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Perkara ini jelas bertentangan dengan sabda Beliau:

Tidaklah digerakkan kenderaan itu melainkan untuk tiga ‘masjid, masjidil haram, masjidil Aqsha dan masjidku ini (masjid nabawi). (Hadis Riwayat al-Bukhari: 1858 dari Abu Sa’id alKhudri)

Adapun hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa yang berhaji lalu dia menziarahi kuburanku setelah aku meninggal dunia, maka dia seperti menziarahiku pada masa hidupku. dan ada riwayat lain: barangsiapa menziarahi kuburanku dia pasti dapat syafaatku.” Hadis ini adalah hadis yang mungkar/maudhu’/palsu. (Rujukan: Muhtashor irwaul ghalil, 1/218)

2 - Bertawassul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam setelah meninggal dunia dengan memanggilnya atau dengan menyebut kemuliaannya bagi tujuan memohon doa.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya bertawassul bijahi (dengan kemuliaan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sama ada ketika beliau masih hidup atau sesudah meninggal dunia, ini adalah tawassul yang bid’ah, dilarang, kerana kemuliaan Rasulullah tidaklah bermanfaat melainkan pada diri beliau sendiri. (Fatawa al-Muhimmah, 1/100)

Ada pun alasan mereka dengan hadis, “Jika kamu mohon kepada Allah, maka mintalah kepada Allah dengan menyebut bijahi (kemuliaanku) sesungguhnya kemuliaanku itu agung” ini adalah hadis yang dusta (mungkar). (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah, 10/319)

3 - Mengamalkan bid’ah dengan alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengapa memakai hadis palsu yang penting untuk membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Hakikatnya, alasan seperti itu langsung tidak menunjukkan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, akan tetapi hanya menunjukkan bahawa mereka adalah golongan yang mencintai hawa nafsu dan menjauhkan umat dari mengikuti sunnah.

Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Surah Shad, 38: 26) dan bertentangan dengan firman Allah dalam surat (Surah al-Hasyr, 59: 7)

Al-Hafidh Abul Faroh Abdurrohman bin Rojjab al-Hambali berkata “Demikian juga amalan bid’ah, sesungguhnya bid’ah ini muncul kerana mendahulukan hawa nafsunya daripada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Tafsir Ibnu Rojjab al-Hambali 1/202)

4 - Mengadakan Majlis Memperingati maulud (Tarikh Kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Sungguh aneh orang yang mengaku dirinya cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan tetapi mengamalkan amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh beliau (Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dan para sahabatnya, seperti mengadakan peringatan Maulud Nabi, Isra’ Mi’raj dan seumpamnanya.

Adalah suatu yang tidak benar (lagi batil) bahawa majlis maulud Nabi yang mereka adakan bertujuan memuliakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, akan tetapi hakikatnya adalah sebaliknya, mereka menghinanya, kerana acara di dalamnya tidak lepas dari kemungkaran. Sebagai contohnya: bercampurnya muda-mudi, nyanyian, bahkan membaca nasyid-nasyid yang merosakkan kedudukan beliau, mereka berbohong atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan hadis dusta yang selalu dipasarkan melalui majlis-majlis tersebut, untuk meraih harta dengan jalan menipu, misalnya: “Barangsiapa yang mengagungkan hari kelahiranku, aku akan memberi syafa’at kepada-nya pada hari Kiamat.” dan “Barangsiapa berinfak satu dirham untuk memperingati hari ulang tahunku maka seperti berinfak sebesar gunung Uhud berupa emas.” (Lihat Kitab Sabilul Munji) Malah selain itu, turut disertakan dengan nanyian lagu-lagu marhaban dan berzanji yang penuh kesyirikan dan kedustaan kandungannya.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh berkata: Perayaan maulud nabi ini muncul pada abad ke-4 hijriah yang diadakan oleh Bani Ubaid al-Qoddah, mereka menamakan diri mereka dengan fathimiyyin (puak Syi’ah). Kesesatan mereka akhirnya dibongkar oleh ulama sunnah. Mereka ini tergolong daripada tarikat ismailiyah bathiniyah, dan tidak layak dijadikan ikutan. (Hakikah Syahadah “anna muhammadan Rasulullah”: 110)

Memperingati maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah menyamai dengan orang Nasrani ketika merayakan hari natal (Krismas), isinya senda-gurau, dan acara maksiat lainnya. Tidak benar pelakunya mengaku cinta kepada Nabi, maka dengan itu janganlah tertipu dengan karya tulisan yang antaranya ditulis oleh Muhammad Alawy al-Maliki kerana ulama telah membantahnya, dan juga kitab “Membedah Hukum Peringatan Maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ditulis oleh K.H.Hasanuddin Abbdul Latief dan masih banyak lagi yang mereka tulis dalam rangka mematikan sunnah. Golongan seperti mereka ini harus dilenyapkan.

5 - Belebih-lebihan memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun contoh berlebih-lebihan dalam memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah:

“Wahai Rasul yang paling mulia, tiada bagiku orang yang aku berharap kebaikan kepada-Nya melainkan engkau (wahai Nabi) pada saat terjadinya musibah.”

Bukankah perkataan ini menyekutukan Allah dengan utusan-Nya? Bukankah beliau pernah luka pada waktu perang Uhud? Bukankah beliau pernah di sihir oleh orang Yahudi? Bukankah Allah memerintah kita agar berharap kebaikan kepada Allah sahaja? Silakan merujuk surat al-Falaq, an-Nas, dan al-A’raf: 188.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Janganlah kamu memujiku dengan berlebih-lebihan sebagaimana orang Nasrani berlebih-lebihan memuji (Isa) anak Maryam, sesungguhnya aku hamba-Nya, katakanlah: Hamba Allah dan merupakan Rasul-Nya. (Hadis Riwayat al-Bukhari: 3189 dari Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu)

“Janganlah kamu memujiku dengan cara yang bathil dan janganlah kamu melampaui batas memujiku sebagaimana orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa sehingga mereka menggelarkannya sebagai tuhan.” (Syaikh DR. Soleh Fauzan al-Fauzan, Akidatut Tauhid Wabayanu Ma Yudhoduha Minas Syirkil Akbar Wal Ashghor: 151)

6 - Mengadakan/Mereka-cipta bentuk-bentuk selawat yang bid’ah

Membaca selawat Nabi adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-Nya. (Surah al-Ahzab, 33: 56)

Nabi telah mengajarkan umatnya selawat yang benar (mengikut tatacaranya yang syar’i), namun pada masa ini telah kita jumpai sebahagian kaum muslimin membuat (mereka cipta) selawat kepada Nabi mengikut hawa nafsunya, sebagai contoh, selawat yang bid’ah karya Syaikh dari Lebanon:

“Ya Allah berkahilah Muhammad sehingga Engkau jadikan darinya sifat ke-esaan dan pengurus makhluk.”

Selawat bid’ah dari Syiria:

“Ya Allah berkahilah Muhammad yang dari cahayanya Engkau ciptakan segala sesuatu.”

Selawat Fatih

“Ya Allah berkahilah Muhammad sang pembuka terhadap yang tertutup.”

(Rujuk: Minhajul firqotun najiah: 116- 117, Syaikh Jamil Zainu)

Apabila kita memahami makna-makna selawat yang tersebut di atas, sungguh mereka telah menjadikan Nabi memiliki sifat ilahiyah (ketuhanan). Na’udzu billahi min dzalik.

7 - Risalah Nabi hanya untuk bangsa Arab

Sebagian tokoh yang menamakan dirinya muslim pencinta Nabi berpendapat bahawa risalah beliau hanya untuk bangsa Arab. Janggut bukan ajaran Islam tetapi adab orang Arab, poligami adab orang Arab. Perkataan ini muncul dari kalangan orang-orang yang berkepentingan tertentu dan khuwatir kehilangan kedudukannya. Secara tidak sedar, mereka menolak ayat:

Katakanlah, wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua (sekalian manusia)... (Surah al-A’raf, 7: 158)

8 - Beranggapan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengetahui persoalan ghaib, memiliki kekuatan ilahiyah (ketuhanan) sehingga mereka beristighotsah (berdoa/memohon kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dan menyatakan hajatnya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Ini bukanlah suatu contoh sikap cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan tetapi mempermainkan kedudukannya.

Katakanlah (wahai Nabiyullah kepada mereka): “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudhoratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudhoratan...” (Surah al-A’raf, 7: 188)

9 - Menolak sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan alasan belum sampai masanya untuk diamalkan atau mencegah keresahan umat.

Sebagian kaum muslimin mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, akan tetapi bila dibacakan al-Qur’an atau as-Sunnah yang kurang berkenan di hatinya mereka menolaknya, dengan alasan belum waktunya atau menjaga persatuan umat atau dengan alasan hawa nafsu lainnya.

Al-Hafidh Abul Faroh Abdurrahman bin Rejab al-Hambali berkata: “Semua kemaksiatan muncul kerana mendahulukan mengikuti hawa nafsunya daripada mencintai Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahawa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka)... (Surah al-Qashas, 28: 50).” (Tafsir Ibnu Rojjab al-Hambali, 1/202)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini, Allah sentiasa memberi petunjuk kepada kita semua kaum muslimin ke jalan yang dinidhai-Nya, menjadi hamba yang cinta kepada-Nya dan mengikuti sunnah Nabi-Nya.

Wednesday, March 4, 2009

093 - Larangan Memberontak Dan Adab Menasihati Pemimpin Kaum Muslimin

Larangan Memberontak Dan Adab Menasihati
Pemimpin Kaum Muslimin

Imam Abu Ja’afar ath-Thahawi rahimahullah berkata:

“Kita tidak membolehkan memberontak (membelot) terhadap para imam (pemimpin muslim) dan para penguasa walau pun mereka melakukan kezaliman. Kita tidak menyumpahi (memaki hamun) mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahawa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mana mereka tidak memerintahkan melakukan maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka supaya mereka dikurniakan dengan kebaikan sama ada dari segi fizikal atau pun rohani.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesiapa yang mentaatiku bererti dia mentaati Allah. Sesiapa yang menderhakaiku bererti dia menderhakai Allah. Sesiapa yang mentaati pemimpin, bererti dia mentaatiku. Sesiapa yang menderhakai pemimpinnya, bererti menderhakaiku.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 2957)

“Seseorang muslim wajib mendengar dan taat, sama ada suka atau pun tidak. Melainkan apabila dia diperintah untuk melakukan maksiat. Bila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat, tidak ada lagi istilah mendengar dan taat (dalam urusan maksiat tersebut.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 2955)

Dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kamu adalah yang kamu cintai dan mereka mencintai kamu, kamu mendoakan mereka dan mereka mendoakan kamu. Sejahat-jahat pemimpin kamu adalah yang kamu benci dan mereka membenci kamu, yang kamu menyumpahinya dan mereka menyumpahi kamu.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, adakah ketika itu kami boleh memerangi mereka dengan pedang?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menunaikan solat bersama-sama kamu. Ingatlah, sesiapa yang melihat pemimpinnya melakukan kemasiatan, hendaklah dia membenci kemaksiatannya itu, namun janganlah dia berlepas diri dari mentaatinya”.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 1855)

Dalam persoalan prinsip ini, imam Abil ‘Izz al-Hanafi mensyarahkan perkataan imam Abu Ja’afar ath-Thahawi di atas dengan katanya:

“Ada pun kewajiban untuk mentaati mereka (bukan dalam persoalan maksiat) walau pun mereka melakukan kezaliman adalah sesuatu yang disyari’atkan, kerana keluar dari ketaatan kepada mereka (pemerintah/penguasa) akan melahirkan kerosakan yang belipat kali ganda dibandingkan dengan kezaliman mereka sendiri. Malah, bersabar terhadap kezaliman mereka dapat meleburkan dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Kerana Alla tidak akan menaikkan penguasa ke atas diri kita melainkan disebabkan oleh kerosakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung kepada amal perbuatan. Maka, hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon keampunan, bertaubat, dan memperbaiki amal-amal perbuatan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan apa sahaja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan sebahagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” (Surah asy-Syura, 42: 30)

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Surah al-An’am, 6: 129)

(Dengan ini) apabila rakyat ingin selamat dari kezaliman para pemimpin mereka, hendaklah mereka meninggalkan kezaliman itu juga.” (Rujuk: Tahzib Syarh ath-Thahawiyah, jil. 2, m/s. 199-200, Pustaka at-Tibyan)

Syaikh al-Albani rahimahullah turut mengulas perkataan imam Abu Ja’afar ath-Thahawi dan syarah oleh imam Abil ‘Izz di atas dengan perkataannya:

“Dengan itu, jelaslah bagaimana cara menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa yang satu kulit dan satu bahasa dengan kita. Caranya, kaum muslimin (umat Islam) mestilah bertaubat kepada Allah, memurnikan aqidah, dan mendidik diri serta keluarga mereka dengan pendidikan Islam secara benar. Perkara tersebut adalah sebagai usaha dengan berpandukan kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehinggalah mereka sendiri yang mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.” (Surah ar-Ra’d, 7: 11)

Bertepatan dengan perkara persebut, ada seorang da’i (pendakwah) di zaman kita ini berkata, “Tegakkanlah daulah Islam di dalam hati-hati kamu, maka daulah Islam itu pun kemudiannya akan tertegak di atas muka bumi”.

Jadi, di dalam menyelesaikan masalah tersebut bukanlah dengan kaedah-kaedah seperti yang diguna-pakai sebahagian orang, iaitu dengan memberontak dan memerangi penguasa. Kerana, perkara tersebut di samping termasuk ke dalam bentuk bid’ah, ia juga bertentangan dengan nash-nash syar’i yang mana memerintahkan kita untuk mengadakan perubahan pada masyarakat dengan cara yang baik. Dalam persoalan ini, kita juga perlu memehami sebuah prinsip:

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Surah al-Hajj, 22: 40) (Rujuk: Syarah dan Taqliq Syaikh al-Albani ke atas Aqidah ath-Thahawiyah)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

“Sesiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kepimpinan baginya dengan cara apapun, sama ada dengan redha atau dengan kemenangan (dalam perperangan), maka sesungguhnya orang tersebut telah memecah-belah kesatuan kaum musilmin dan menyelisihi pesanan-pesanan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan apabila ia mati dalam keádaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah. Tidak halal memerangi penguasa (pemerintah) dan keluar dari ketaatan kepadanya disebabkan seseorang. Sesiapa yang melakukan perkara yang seperti itu maka dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang bukan di atas Sunnah dan jalan (yang lurus). (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, no. 33 dan 34)

Imam al-Barbahari rahimahullah turut menjelaskan:

“Jika kamu melihat orang yang berdoa keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahawa ia termasuk salah seorang pengikut hawa nafsu, namun bila kamu melihat orang yang berdoa untuk kebaikan seseorang pemimpin, ketahuilah bahawa ia tergolong sebagai seorang ahli sunnah, insyaAllah.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika aku mempunyai doa yang baik yang makbul, maka semuanya akan aku persembahkan (pohonkan) untuk pemerintah.” Ia ditanya, “Wahai Abu Ali, jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata, “Bila doa itu hanya aku tujukan untuk diriku, tidak lebih hanya bermanfaat untuk diriku, namun bila aku pohonkan untuk pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara merasakan manfaat dan kebaikan.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam “al-Hilyah” (8/91) dari jalan Mardawaih as-Shabigh dan sanad Abu Nu’aim adalah sahih)

Kita diperintahkan untuk mendoakan mereka dengan kebaikan bukannya keburukan, walau pun dia seorang pemimpin yang zalim lagi jahat kerana kezaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara bila mereka (pemimpin) menjadi baik maka mereka dan seluruh kaum muslimin akan merasakannya.” (Imam al-Barbahari, Syarhus Sunnah, Tahqiq Syaikh Khalid bin Qasim al-Roddadiy, Edisi Terjemahan Terbitan Dar El-Hijrah, Cet. Pertama, 1423H/2002M, m/s. 83-84)

Adab Jika Mahu Menasihati Penguasa/Pemimpin

Telah berkata Ibnul Asir: “Nasihat ialah suatu ungkapan daripada sepotong ayat iaitu berkehendakkan kebaikan kepada yang dinasihatkan baginya, dan tidak mungkin diungkapkan dari makna ini bersama makna yang lain. Asal makna nasihat dalam bahasa ialah suci.” (Dinukil dari Dr. Khalid al-Anbariy, Sistem Politik Islam, m/s. 212-213)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesiapa yang ingin menasihati pemimpin dalam sesuatu perkara, maka janganlah disebarkan (didedahkan) secara terang-terangan, akan tetapi peganglah tangannya dan ajaklah dia berbincang dengan diam-diam. Jika dia menerima, maka itulah yang diharapkan, jika tidak, maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajipannya”. (Riwayat Ibn Abi ‘Asim, al-Sunnah. Sanadnya sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh al-Albani ketika mentahqiq kitab as-sunnah, m/s. 507)

Berkenaan hadis ini, Syaikh al-Albani menyatakan bahawa ini adalah kaedah sebenar dalam menasihati para pemimpin secara sembunyi (rahsia – pen.), apabila orang yang menasihati melaksanakan cara begini, maka dia sudah pun melaksanakan tanggungjawabnya dan tidak lagi bertanggungjawab selepas itu. (Dr. Khalid Ali al-Anbariy, Sistem Politik Islam, m/s. 220)

Ibnu Nahhas rahimahullah berkata:

“Saat yang amat tepat untuk menasihati pemimpin adalah di saat sepi dari pihak ketiga. Ini lebih baik daripada bersuara secara terbuka di hadapan media massa, bahkan menyuarakan dan menasihati pemimpin lebih mulia secara rahsia tanpa ada liputan pihak yang ketiga.” (Lihat: Tanbihul Ghafilin ‘An A’malul Jahilin wa Tahzirus Salikin Min Af’alil Halikin)

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata:

“Orang yang menyedari sebahagian permasalahan tentang kesalahan pemimpin, hendaklah dia menasihatinya, jangan menyebarkannya di hadapan orang ramai (umum). Tetapi hendaklah dia berbincang secara empat mata di dalam rangka menasihatinya, tidak merendahkan atau menjatuhkan maruah dan martabatnya, pent.) serta tidak memperlekehkannya sebagaimana yang terdapat di dalam hadis”. (Lihat: Sail al-Jarrar 4/556. Dinukil dari: Abu Farouq Rasul Dahri, Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah Terhadap Pemerintah)

“Dalam masalah menegur penguasa (pemimpin), pendapat yang benar ialah melakukannya secara individu, bukan di khalayak umum. Adalah amat baik jika tegurannya secara rahsia atau menasihatinya dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa ada pihak yang ketiga”. (Lihat: Tanbihul Ghafilin ‘An A’malul Jahilin wa Tahzirus Salikin Min Af’alil Halikin)

Imam Ibnu Rejab al-Hanbali rahimahullah berkata:

“Ada pun nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin maka ia adalah cintakan kebaikan untuk mereka, petunjuk untuk mereka dan keadilan mereka, menyukai sokongan rakyat ke atas mereka, membenci perpecahan umat kepada mereka, mematuhi ajaran agama, suka memuliakan mereka kerana mentaati Allah, membantu mereka dalam kebenaran, taat kepada mereka dalam perkara yang haq, marah kepada orang yang membelot dari mereka, dan cinta kepada usaha mereka di alam urusan berbuat taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Membantu mereka dengan kebenaran, menyedarkan mereka dengan lemah lembut, mengelakkan daripada menentang mereka dan mendoakan kejayaan (kebaikan) untuk mereka.” (Rujuk: Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, m/s. 172 dan 173, Darul Falah)

Memuliakan Pemerintah

Daripada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, katanya:

“Aku mendengar Nabi bersabda: “Sultan adalah bayangan Allah di bumi, sesiapa yang memuliakannya, maka Allah akan memuliakannya dan sesiapa yang menghinakannya, maka Allah akan menghinakannya”.” (Hadis Riwayat Ahmad, 5/42. Dinilai hasan oleh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah, 5/376)

Dr. Khalid Ali al-Anbariy berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan ke atas umat ini menghormati dan memuliakan para pemimpin. Pada waktu yang sama, baginda melarang mencaci mereka dan menyebut kekurangan serta kelemahan mereka kerana yang demikian itu menyebabkan berlakunya kebencian rakyat kepada mereka mereka bahkan juga akan membawa kepada kejahatan, kerosakan, kederhakaan, dan permusuhan.

Dalam perkara ini, berkatalah Sahl bin Abdullah at-Tastari: “Manusia sentiasa dalam keadaan baik selama mana mereka menghormati sultan dan ulama, maka sekiranya mereka menghormati kedua-duanya ini, Allah memeberi kebaikan kepada kehidupan dunia dan akhirat mereka dan sekiranya mereka menghina kedua-duanya, Allah akan merosakkan kehidupan dunia dan akhirat mereka”.” (Sistem Politik Islam, m/s. 215)