Monday, February 18, 2008

046 - KAROMAH PARA WALI MENURUT PEGANGAN AHLUS SUNNAH

KAROMAH PARA WALI MENURUT PEGANGAN AHLUS SUNNAH

Di antara prinsip dasar Akidah Ahlussunah wal jama’ah adalah meyakini dan membenarkan adanya Karomah bagi para wali Allah.

Karomah adalah hal atau peristiwa luar biasa (khawariqul ‘adah) yang diberikan oleh Allah kepada para wali-Nya. Karomah itu adalah merupakan perkara yang terjadi di luar kebiasaan, tidak biasa bagi manusia biasa.

Auliya’ adalah bentuk jamak (plural) dan kata wali, iaitu orang mukmin yang bertakwa, sebagairnana ditegaskan di dalam firman-Nya,


أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ .الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka, dan mereka pula tidak bersedih hati. Wali-wali Allah itu ialah orang-orang Yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. (Yunus 10: 62-63)

Disebut wali adalah sebagai pecahan dari kata al-wala’ yang bererti cinta dan kedekatan. Maka yang disebut waliyullah itu adalah siapa saja yang mencintai Allah dengan cara mematuhi segala apa saja yang dicintai-Nya dan bertaqarrub (mendekatkan din) kepadanya dengan menjalankan apa saja yang Dia redhai.

Terhadap masalah Karomah para wali ini, manusia terbahagi menjadi tiga kelompok, iaitu:

Kelompok pertama:

Orang-orang yang menafikan atau tidak mempercayainya, seperti Mutazilah, Jahmiyah dan sebahagian kelompok di dalam golongan Asya’irah. Syubhat atau alasan mereka adalah bahawasanya jikalau hal-hal khawariq (peristiwa-peristiwa luar biasa) boleb terjadi pada para wali nescaya tidak boleh dibezakan antara nabi dengan lainnya, sebab perbezaan antara seorang nabi dengan lainnya itu adalah mukjizat yang merupakan hal atau peristiwa di luar kebiasaan.

Kelompok kedua:

Orang-orang yang ekstrem atau berlebihan di dalam menetapkan dan meyakini Karomah. Mereka berasal dari kelompok Tarekat Sufi dan Quburiyin (pemuja kuburan), mereka datang kepada manusia dengan menampakkan khawariq syaithoni (hal-hal yang bersifat di luar kebiasaan namun sebenarnya berasal dari syaitan), seperti anti bakar, kebal, menguasai ular berbisa dan perilaku-perilaku aneh lainnya yang didakwa oleh pemuja kuburan (quburiyyun) yang mereka sebut khawariq.

Kelompok ketiga:

Orang-orang yang beriman dan meyakini adanya karomah para wali berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ahlus Sunnah memberikan tanggapan terhadap orang-orang yang tidak meyakininya dengan dalil dan hujjah “man’ul isytibah” (tidak ada kekaburan) antara nabi dengan lainnya. (Mereka menjelaskan) bahawasanya, ada perbezaan-perbezaan besar di antara para nabi dengan lainnya, yang tidak khawariqul ‘adat, dan bahawasanya wali tidak mendakwakan kenabian. Dan jika sekiranya ia mendakwakan kenabian, niscaya keluar dari wilayah kewalian dan menjadi pendakwa dusta, bukan seorang wali.

Dan adalah termasuk sunnatullah terungkapnya kepalsuan si pendusta, sebagaimana terjadi pada sang pendusta Musailamah dan lainnya.

Ahlus Sunnah juga memberikan tanggapan terhadap orang-orang yang ekstrem di dalam menetapkan dan meyakini karomah. Mereka (menjelaskan bahawa khawariq syaithani) itu adalah perbuatan para tukang tenung dan dajjal. Mereka bukan para wali Allah, melainkan para wali syaitan, dan yang terjadi pada mereka tiada lain adalah kedustaan dan perbuatan dajjal atau fitnah bagi mereka dan lainnya dan sebagai istidraj.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam masalah ini mempunyai kitab yang sangat berharga, namanya adalah al-Furqan Baina Auliya’ ar-Rahrnan wa Auliya’ asy-Syaithan.

Kepelbagaian Karomah

Karomah itu ada yang berbentuk pengetahuan dan kasyf (mengetahui rahsia ghaib), seperti dapat mendengar sesuatu yang tidak dapat didengar oleh selain dia, atau dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain, sama ada dalam keadaan jaga atau pun tidur, atau mengetahui apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Karomah juga ada yang berbentuk kemampuan dan dapat mempengaruhi.

Sebagai contoh untuk jenis yang pertama adalah ucapan Umar bin al-Khaththab r.a., “Wahai pasukan, (berlindunglah) ke balik bukit.” Pada saat itu beliau berada di Madinah, sedangkan pasukan berada di bukit di daerah Masyriq (negeri Syam).

Juga pemberitaan yang diberitahukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq bahawa bayi yang berada dalam kandungan istrinya adalah perempuan. (Rujuk: Karomatul Auliya’, Oleh al-Laalika’i, hal. 117) Juga berita yang disampaikan oleh Umar bin al-Khaththab tentang orang yang akan lahir dari anak keturunannya menjadi seorang yang adil, dan juga kisah tentang orang yang menemani nabi Musa dan pengetahuannya tentang keadaan/situasi pemuda laki-laki.

Sedangkan contoh untuk jenis yang kedua, iaitu kisah tentang orang yang mempunyai pengetahun tentang al-Kitab, ia dapat membawa singgasana milik Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman kisah Ashabul kahfi, kisah Maryam dan kisah Khalid bin al-Walid yang minum racun tetapi tidak terjadi sebarang kesan bahaya pada dirinya.

Di antara Karomah yang disebutkan di dalam al-Qur’an adalah yang dijelaskan tentang kehamilan Maryam tanpa melalui hubungan dengan laki-laki manapun, apa yang disebutkan di dalam surah al-Kahfi tentang Ashabul Kahfi, kisah orang soleh yang mendampingi nabi Musa dan kisah tentang Dzul Qarnain.

Di antara contoh Karornah yang disebutkan dengan sanadsanad shahih dan para sahabat dan kaum Tabi’ in adalah seperti Umar bin al-Khaththab dapat melihat pasukan kaum muslimin padahal ia sedang berada di atas mimbar di Madinah dan pasukan sedang berada di Nahawan di wilayah Masyriq, di mana pada saat itu beliau menyerukan kepada pasukan itu, “Wahai pasukan, (berlindunglah ke balik) bukit.” Pasukan itu pun mendengarnya dan dapat memahami arahan dan Umar sehingga dapat selamat dan tipu muslihat musuh.

Karomah tetap ada pada umat ini sehingga hari kiamat kelak selagi kewaliyan dengan syarat-syaratnya masih ada pada mereka. Para wali Allah itu adalah orang-orang yang bertakwa dan beriman, mereka tidak mendakwa kewalian dan kewalian mereka tidak menjadikan mereka meninggalkan sedikitpun dari kewajiban-kewajiban agama dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Wallahu a’lam.

Sumber:

Dipetik dari Kitab at-Tauhid, Jil. 3, Oleh Sheikh Dr. Soleh Fauzan (Aggota Majlis Fatwa Arab Saudi), Edisi Terjemahan, Terbitan Darul Haq, m/s. 172-175)

No comments:

Post a Comment